Page 8 - MODUL SEPUTAR ZAKAT
P. 8
industri yang tidak diperdagangkan. Sedangkan uang, asal memenuhi nisab dan haul,
menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut sangat relevan dan bisa
diterapkan dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini. Ulama dari empat mazhab
hampir tidak memiliki perbedaan pendapat dalam masalah nisab dan haul barang-
barang yang wajib dizakati. Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5
persen. Begitu pula dengan barang dagangan, bila nilainva mencapai 20 dinar, wajib
dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib dizakati apabila
pemilikannya mencapai 1 tahun (haul). Untuk hasil bumi tanpa haul. Setiap kali panen
wajib langsung dizakati. Nisabnya 5 wasak. Berkaitan dengan binatang ternak, juga
sudah ada ketentuannya sendiri.
Dalam masalah nisab dan haul, yang perlu dilakukan adalah mengkonversikan-
nya dengan ketentuan-ketentuan yang ada di negara kita. Salah satu contohnya, satu
dinar sama dengan berapa rupiah, satu wasak itu berapa kilogram dan seterusnya. Hal
ini akan memudahkan kita cara menghitung berapa zakat yang wajib dikeluarkan
untuk tiap-tiap harta.
Dalam masalah mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga tidak ada
perbedaan pendapat sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat al-Taubah ayat
60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu
sabil. Para mustahiq tersebut biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Perdebatan muncul biasanya berkaitan dengan kategori tiap-tiap mustahiq,
terutama untuk fi sabilillah. Jumhur ulama berpendapat, fi sabilillah adalah perang di
jalan Allah. Bagian untuk fi sabilillah diberikan kepada para angkatan perang yang
tidak mendapat gaji dari pemerintah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian
zakat untuk fi sabilillah bisa ditasharufkan (digunakan) untuk membangun madrasah,
masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Dalam persoalan ini, kita perlu
melebarkan pemaknaan fi sabililllah, tidak hanya pada perang semata. Hal ini
dimaksukdkan agar zakat tersebut berdaya guna dan tepat guna. Pengertian yang lebih
luas terhadap makna fi sabilillah akan berdampak pada kemaslahatan semua orang.
Selain itu, pemaknaan tersebut berkonsekwensi terhadap pelaksanaan pengumpulan
dan pentasharrufan zakat dapat berjalan sebaik-baiknya. Di sinilah pentingnya
pendataan terhadap muzakki, barang yang wajib dizakati, dan mustahiq zakat.
Menurut Imam Syafi’i, pengumpulan zakat harus berupa barang yang dizakati
itu sendiri, kecuali untuk barang dagangan. Artinya, untuk hasil bumi, yang harus
dizakatkan adalah hasil bumi itu sendiri. Pengumpulan zakat tidak bisa diganti dengan
uang misalnya, meski senilai barang yang dizakati. Namun, untuk barang dagangan,
zakat harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya, tidak boleh mengeluarkan
zakat dalam bentuk barang-barang konveksi, seperti baju, celana, dan lain sebagainya.
Dalam hal pembagiannya, harus berupa barang yang dizakati itu sendiri. Zakat
hasil bumi harus dibagi berupa hasil bumi. Zakat hewan ternak harus dibagi berupa
hewan ternak. Hal ini didasarkan pada aturan bahwa pembagiannya harus berupa
7