Page 9 - MODUL SEPUTAR ZAKAT
P. 9
barang yang dizakati itu sendiri, maka sudah barang tentu penyimpanannya juga harus
berupa barang itu sendiri.
Ditinjau dari segi teknis, memang tidak praktis karena di zaman modern ini,
barang sebesar apa pun dapat dilipat dan dimasukkan dalam kantong, terutama ketika
diwujudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan, uang pun bisa diringkas lagi
menjadi cheque (cek). Pengumpulan, penyimpanan, dan pembagian yang mensyarat-
kan barang yang dizakati itu sendiri tidak praktis ditinjau dari segi waktu, tenaga, dan
tempat yang dibutuhkan untuk keperluan itu.
Berkaitan dengan petugas pengumpul dan pembagi zakat, disebut ‘amil,
sebenarnya penyebutan amil salah kaprah, karena sesungguhnya mereka baru panitia
zakat. Sedangkan amil seharusnya diangkat oleh pemerintah yang boleh mengambil
bagian zakat. Organisasi sosial keagamaan atau institusi apapun tidak berhak
membentuk amil zakat.
Menurut ketentuan fikih, jika pemerintah (imam) mengumpulkan zakat, ia bebas
menyerahkan hasil pengumpulan kepada mustahiq dalam bentuk apa pun, baik berupa
modal maupun alat-alat kerja. Pemabagian zakat menurut Imam Syafi’i, harus di
antara delapan asnaf. Tapi, menurut pendapat yang lain, zakat boleh diberikan kepada
mustahiq tertentu saja.
Pengelolaan zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil,
menguasi masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur,
dan amanah. Kita tidak bisa menyerahkan tugas pengelolaan zakat bagi mereka yang
tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal
muzakki, nisab, haul, dan mustahiq zakat. Persoalan akan muncul ketika pengelola
zakat tidak jujur dan amanah. Hal terburuk yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai
kepada mustahiq dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi saja.
Oleh karena itu, adanya tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah zakat,
jujur, dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang profesional,
terutama di era sekarang ini.
Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu.
Dalam upaya pembentukan dana, sesungguhnya zakat tidak sendirian. Jika keperluan-
nya ialah penyantunan fakir miskin, sesungguhnya fikih telah menetapkan kewajiban
lain atas hartawan muslim untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini, jika dikembang-
kan justru merupakan potensi lebih besar daripada zakat.
Kewajiban itu berupa memberikan nafkah. Menurut ketentuan fikih, bila tidak
ada baitul mal, wajib bagi para hartawan untuk memberi nafkah kepada fakir miskin.
Nafakah berbeda dengan sedekah, sebab sedekah adalah ibadah sunah, sedangkan
nafakah bersifat wajib. Seadekah dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial
karena sebagaimana nafakah, sedekah tidak terikat ketentuan nisab dan haul layaknya
zakat. Orang boleh saja bersedekah kapan saja dan berapa saja.
Sebagai alternatif, nafakah dan sedekah banyak memberikan kemungkinan.
Lebih-lebih bila diingat bahwa di negara kita tidak ada baitul mal. Maka nafakah
8