Page 140 - Tenggelamnya Kapal
P. 140

"Saya tidak ada lagi mempunyai keluarga yang akan menerima hartaku. Ada wangku tersimpan
               sedikit dalam bank. Semuanya kuhadiahkan kepada sahabatku Muluk, yang telah bertahun-
               tahun sesakit sesenang dengan daku. Harta bends peninggalan ayah bundaku di Mengkasar
               menjadi hadiah pula untuk orang orang tua yang menjagainya: Daeng Masiga.[221]

               Karangan-karanganku kuserahkan kepada "Club Anak Surnatera." Sedapat-dapatnya karangan-
               karangan itu dicetak, dan hasil keuntungannya diambil pembantu anak muda yang terlantar
               dalam menuju cita-citanya".
               "Saya heran," kata Muluk menyambung ceriteranya, "apakah sebab guruku membuat wasiat
               semacam itu. Apakah dia telah sengaja hendak mati, dengan membunuh diri. Tetapi saya
               teringat, sehingga keheranan saya hilang, bahwa sejak mati Hayati, memang badannya sudah
               tidak sehat lagi. Kerap mulutnya terlanjur-lanjur saja menyebut mati. Dia mati dalam menulis
               akhir satu karangan. Di atas meja terletak tulisan yang penghabisan itu:

               "....... dan akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan
               perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan bahagia."

               Tiba di kalimat "bahagia" itu, sudah terhenti tulisannya dan tidak terang lagi apa ujungnya.
               Penanya terletak di atas kertas itu.

               Sekarang, meskipun ada kekayaan ditinggalkannya, apalah gunanya bagiku. Padahal saya
               kehilangan dirinya, sahabatku, guruku, yang telah sekian lama kukenal kemuliaan dan
               kebersihan batinnya.
               Buat apa lagi kekayaan benda itu.

               Dia telah kukuburkan di dekat pusara orang yang menjadi angan-angannya selama hidupnya.
               Dan seketika hidupnya, kubur itu senantiasa dibelai dan diperbaikinya. Ke sana selalu dia ziarah
               di waktu hari baik bulan purnama, dan ke sana dia kerap kali bermenung. Di sana dia
               kukuburkan, karena di sana baru hatiku puas. Supaya kuburan dua sesaing itu dapat menjadi
               lukisan tamsil dan ibarat bagi orang yang datang kemulaan". Sekian ceritera Muluk.

               Demikianlah penghabisan kehidupan orang besar itu. Seorang di antara pembina yang
               menegakkan batu pertama dari kemuliaan [222] bangsanya; yang hidup didesak dan dilamun
               oleh cinta. Dan sampai matinya pun dalam penuh cinta. Tetapi sungguh pun dia meninggal
               namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup
               menghilangkan jasanya.
               Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi; kesenangannya buat orang lain.
               Buat dirinya sendiri tidak.
               Sesudah dia menutup mata, barulah orang akan insaf siapa sebetulnya dia ..............."


               TAMAT

               [223]
   135   136   137   138   139   140