Page 139 - Tenggelamnya Kapal
P. 139

28. PENUTUP



               Setahun kemudian.
               OLEH karena itu Zainuddin kurang sekali menerima tetamu sejak kematian Hayati, maka
               jaranglah teman-temannya yang dapat menemuinya, Kabar berita tentang keadaan dirinya, atau
               sakit senangnya, tidaklah begitu diketahui orang lagi. Tiba-tiba pada suatu hari di dalam suaat-
               surat kabar yang terbit dalam kota Surabaya bertemu perkabaran:



                                 "ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT"
                  "Pengarang muda yang terkenal itu, yang setelah sekian lama tidak kita baca lagi karangan-
                  karangannya yang sangat halus dan meresap, kamaren malam telah meninggal dunia di
                  rumahnya di Kaliasin. Dia telah dikuburkan di dekat seorang pamilinya perempuan yang
                  meninggal karena kecelakaan kapal Van der Wijck tempoh hari. Banyak teman sahabatnya
                  yang mengantar ke kubur."


               Beberapa orang pengarang surat-surat kabar telah datang berziarah ke rumah itu. Mereka
               dapati beberapa orang pemuda anak Sumatera dan beberapa perempuan tua tengah duduk
               dengan wajah muram, dan kelihatan juga Muluk. Maka wakil surat-surat kabar itu pun
               datanglah mendekatinya. Sesudah ta'ziah, mereka meneruskan kewajiban mereka menanyai
               Muluk tentang kematian orang yang telah berkali-kali menceriterakan kesedihan dan [220]
               kemelaratan orang lain, dan telah berulang-ulang mengobat ratap si fakir dan si miskin itu.
               Muluk berceritera: "Tidak kusangka-sangka bahwa guruku, sahabatku dan orang yang paling
               kucinta itu akan selekas itu meninggalkan saya.
               Kemaren malam, seketika dia akan masuk kamar tulisnya, dia berpesan menyuruh
               membangunkannya pagi-pagi. Tiba-tiba kira-kira pukul 3 malam, kedengaran dia merintih
               karena sakit. Saya bangun dari tidur dan pergi melihatnya. Kulihat nafasnya amat sesak. Lalu
               segera kupanggilkan dokter. Sayang dokter hanya menunjukkan nama penyakit, tetapi tak
               kuasa lagi menolong. Jantungnya bergerak amat, keras, tengah menulis akhir dari satu
               karangannya.
               Lidahnya segera surut sehingga tak dapat bercakap-cakap lagi. Di dekat dokter dia menengok
               saya sesenang-tenangnya. Seakan-akan ada yang akan dikatakannya. Setelah itu dilihatnya
               sebuah tas penyimpan bundel surut-surat, tenang-tenang, dan ditentangnya pula muka saya.
               Akhir sekali dia melihat kapada gambar besar di dinding itu. Setelah itu dia pun pergilah, buat
               selama-lamanya. . . ....
               Tengah hari kemaren mayatnya telah dikuburkan di dekat kuburan Hayati, orang yang
               dicintainya itu. Orang yang telah menyebabkan kemasyhurannya. Sekembali dari pusara,
               bundelan surut-surat itu kubaca:



               Wasiatku
   134   135   136   137   138   139   140