Page 135 - Tenggelamnya Kapal
P. 135

"Siapakah yang dapat menentukan hidup mati orang?" jawab jururawat itu pula. "Bukankah kita
               hanya berusaha?"
               Setelah hampir setengah jam mereka duduk di sekitar [213] pembaringan itu, dilamun oleh
               pekik dan rintih orang-orang sakit yang lain, maka Hayati memutar kepalanya dari sedikit
               kesedikit, dan tidak lama kemudian, matanya dibukakannya.
               Dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, cahaya
               pengharapan, "Kau.... Zain ..."
               "Ya, Hayati ! Allah rupanya tak izinkan kita berpisah lagi, bila telah beroleh keizinan dari dokter,
               kita segera berangkat ke Surabaya."
               Dilihatnya pula Muluk tenang-tenang: „........ Bang !........... su......... rat............... ku!"

               "Sudah Hayati, sudah kuberikan!" kata Muluk dan lehernya tersenak hendak menangis. Hayati
               pingsan kembali.

               Jururawat masuk kembali, bersama dokter setelah memeriksa orang lain, sampailah
               pemeriksaan kepada Hayati. Dilihatnya muka perempuan muda itu, diperiksai tangannya,
               didengarkannya turun naik nafasnya. Setelah beberapa lama selesai memeriksai itu, dia masih
               berdiri dengan tenang.

               "Bagaimana halnya tuan dokter?" tanya Zainuddin, dengan wajah yang sangat cemas.
               "Dia terlalu payah, darah terlalu banyak keluar, sekarang dia demam."

               "Kalau perlu ambillah darahku sendiri tuan dokter, untuk menolong jiwanya."
               "Sayang di sini perkakas tidak cukup. Baru saja dipesankan ke Surabaya, beberapa dokter akan
               datang membantu ke mari."
               Dokter pun pergi pula kepada yang lain ...............
               Hari telah mulai malam, si sakit masih tidur dengan tenangnya, Zainuddin dan Muluk duduk
               menjaga dengan tak mengingat kepayahan. Kira-kira pukul 10 malam dibukanya pula matanya.
               Bagi orang yang tahu dan biasa melihat tanya-tanda orang yang akan mati, telah kelihatan
               tanda-tanda itu, cahaya matanya sudah tak ada lagi, bibirnya sudah surut ke atas.
               Diisyaratkannya [214] dengan kepalanya menyuruh Zainuddin mendekatinya. Setelah dekat,
               dibisikkannya: "Zainuddin. Saya dengar perkataan ...... tuan dokter ...... saya tahu bahwa waktu
               ...... saya ...... telah dekat."

               "Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembaH ke Surabaya menyampaikan cita-cita kita,
               akan hidup beruntung, berdua ! Tidak ........ Hayati ! ........ tidak !"

               "Sabar ........ Zain, cahaya kematian telah terbayang di mukaku ! Cuma, jika kumati. ........
               hatiku telah senang, sebab, telah kuketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku!"

               "Hidupku hanya buat kau seorang Hayati "Akupun! ............"
               Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali, diisyaratkannya pula Zainuddin supaya
               mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya: "Bacakanlah ..... dua kalimat suci ........ di
               telingaku."

               Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat itu diturutkannya yang mula-mula itu dengan
               lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga .......... dia sudah tak ada lagi!
               Muluk tegak dengan tenang melihat perempuan muda itu melepaskan hidupnya yang
               penghabisan. Zainuddin bingung dan melihat ke wajah Muluk seakan-akan menanyakan,
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140