Page 131 - Tenggelamnya Kapal
P. 131

rumahmu untuk memperlihatkan bagaimana sengsaraku lantaran tak jadi bersuami engkau.
               Hilang .... hilang semuanya. Hilang suami yang kusangka dapar memberiku bahagia. Hilang
               kesenangan dan mimpi yang kuharap-harapkan. Setelah semuanya itu kuderita harus kudengar
               pula dari mulutmu sendiri kata penyesalan, membongkar kesalahan yang lama, yang memang
               sudah nyata kesalahan, yang oleh Tuhan sendiri pun kalau kita bertobat kepadaNya, walaupun
               bagaimana besar dosa, akan diampuniNya.
               Adakah engkau tahu hai Zainuddin, siapakah perempuan yang duduk di kamar tulismu kemaren
               itu? Yang engkau beri kata pedih, kata penyesalan yang engkau bongkar kesalahannya dan
               kedosaanrtya, yang engkau remukkan jiwanya dengan tiada peduli?
               Perempuan itu tidak lain dari satu bayang-bayang yang telah hilang segenap semangatnya,
               yang telah habis seluruh kekuatannya, tiada berdaya upaya lagi, habis kekuatan pancaindera
               dan perasaannya; matanya melihat tetapi tak bercahaya, telinganya mendengar, tetapi tiada ia
               mafhum lagi apa yang didengarnya
               Yang tinggal hanya tubuhnya, batinnya sudah tak berkekuatan lagi. Itulah dia perempuan yang
               engkau sakiti itu. Itulah perempuan yang tidak engkau timbang sengsaranya dan ratapnya.
               Engkau ulurkan kepadanya tanganmu yang kuat dan kuasa, engkau tikam dia dengan keris
               pembalasan, mengenai sudut jantungnya, terpancur darah dan akan tetap mengalir sampai
               sekering-keringnya, mengalir bersama dengan jiwanya.
               Itulah perempuan yang engkau sakiti itu!

               Tetapi sungguhpun demikian pembalasan yang engkau timpakan ke atas pundakku,
               kesalahanmu itu telah kuampuni, telah kuhabisi, telah kumaafkan.

               Sebabnya ialah lantaran saya cinta akan engkau. Dan karena saya tahu bahwasanya yang
               demikian engkau lakukan adalah lantaran cinta jua. Cuma satu pengharapan yang penghabisan,
               heningkan hatimu kembali, sama-sama kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya,
               maafkan saya, letakkan saya kembali dalam hatimu menurut letak yang bermula, cintai saya
               kembali sebagaimana cintaku kepadamu dan jangan saya dilupakan.

               Engkau suruh saya pulang ke kampungku dan engkau berjanji akan membantuku sekuat
               tenagamu sampai saya bersuami pula.
               Zainuddin! Apakah artinya harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yang ada
               dekatku?
               Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bahwa saya
               pulang ke kampungku, hanya dua yang kunantikan, pertama kedatanganmu kembali, menurut
               janjiku yang bermula, yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, hari berganti musim. Dan
               yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya
               bergantung di awang-awang itu.
               Selamat tinggal Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yang kucintai di dunia ini! Seketika
               saya meninggalkan rumahmu, hanya namamu yang tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak,
               engkaulah yang akan terpatri dalam doaku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat ..........

               Mana tahu, umur di dalam tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau
               ziarah ke tanah pusaraku, bacakan doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna
               dari bekas tanganmu sendiri, untuk jadi tanda bahwa di sanalah terkuburnya seorang
               perempuan muda, yang hidupnya penuh dengan penderitaan dan kedukaan, dan matinya
               diremuk rindu dan dendam.
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136