Page 129 - Tenggelamnya Kapal
P. 129

26. SURAT HAYATI YANG PENGHABISAN



               BESOKNYA hari Selasa 20 Oktober, barulah Zainuddin kembali dari Malang. Dia masuk ke dalam
               rumah dengan wajah muram, terus ke kamar tulisnya. Didapatinya Muluk sedang
               membersihkan buku-buku dan menyusun kertas-kertas yang terserak di atas meja.
               "Bang Muluk," katanya dengan tiba-tiba, "kemarilah duduk, ada hal yang akan saya terangkan!"
               Muluk segera meletakkan sapu bulu ayam yang ada di tangannya, duduk ke sebelah kursi yang
               ada di hadapan Zainuddin. Dari dalam sakunya dikeluarkannya surat yang ditinggalkan Hayati
               itu.
               "Bang Muluk! Terus terang kukatakan, bahwa hatiku berperang sangat hebatnya, sejak akan
               melepas Hayati pergi, sampai sekarang ini. Saya menyesal melepasnya pergi, tahu benar saya
               bahwa hidup saya tidak akan selamat kalau tidak disamping Hayati. Semalam, kira-kira pukul 1,
               dalam Hotel yang saya tumpangi di Malang, saya terbangun dari tidur, terdengar oleh telingaku
               suara Hayati memanggil-manggil namaku. Sejak mendengar itu, mataku tak mau tidur lagi, saya
               gelisah; tadi pagi dengan perasaan terharu saya bangun dan saya kembali ke mari dengan
               segera.
               Bang Muluk! ....... cinta saya kepada Hayati masih belum usak, walau sebesar rambut
               sekalipun!"
               Muka Muluk merah mendengar perkataan Zainuddin itu. Dengan gugup dia berkata: "Saya tak
               mengerti dengan perangai guru! Selama ini guru meratap, menangis, bersedih, bersedu
               mengenang [204] Hayati. Sekarang setelah diluangkan Tuhan kesempatan pertemuan yang sah
               diantara guru dengan dia, guru hukum dia dengan satu hukuman, yang usahkan terbit dari
               seorang laki-laki yang bercinta dan berbudi, dari hakim yang zalim sekalipun, tidak akan ada
               hukuman sebagai demikian itu. Sekarang setelah dia pergi, baru guru mengatakan bahwa guru
               tetap cinta akan dia! Guru jangan marah, jika saya katakan bahwa kadang-kadang perangai
               guru masih serupa dengan perangai anak-anak".
               "Ya bang Muluk! Saya sudah salah, hati dendam saya dahulukan dari ketenteraman cinta. Terus
               terang saya katakan, kalau tidak ada Hayati lagi di sini, saya akan sengsara, terus!"

               "Diapun demikian! Berat betul langkahnya hendak mening galkan rumah ini. Sampai ketika akan
               berangkat pesannya masih disuruh sampaikannya kepada guru, bahwasanya nama gurulah
               yang akan menjadi sebutannya di manapun dia. Inilah surat yang disuruhkannya berikan!"
               Zainuddin membuka surat itu dengan penuh perhatian dan dibacanya:



               Pergantungan jiwaku, Zainuddin !
               Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dari padaku, Zainuddin.
               Apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!
               Sungguh besar sekali harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dengan
               segenap daya dan upaya, supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa
               makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap
               kepada dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita, sebab
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134