Page 124 - Tenggelamnya Kapal
P. 124

Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan lamanya saya terletak di atas tempat
               tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku, memperlihatkan kepadaku bahwa tangan kau telah
               berinai, bahwa kau telah kepunyaan orang lain.
               Siapakah diantara kita yang kejam, hai perempuan muda? Saya kirimkan berpucuk-pucuk surat,
               meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani, sehingga saya, yang bagaimana pun hina
               dipandang orang, wajib juga menjaga kehormatan diri. Tiba-tiba kau balas saja dengan suatu
               balasan yang tak tersudu di itik, tak termakan di ayam. Kau katakan bahwa kau miskin, saya
               pun miskin, hidup tidak akan beruntung kalau tidak dengan wang. Sebab itulah kau pilih hidup
               yang lebih senang, mentereng, cukup wang, berenang di dalam mas, bersayap wang kertas
               .......

               Siapakah diantara kita yang kejam? Siapakah yang telah [196] menghalangi seorang anak muda
               yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan, tetapi kemudian terbuang jauh ke tanah Jawa
               ini, hilang kampung dan halamannya? Sehingga dia menjadi seorang anak "komidi" yang
               tertawa di muka umum, tetapi menangis di dibelakang layar?

               Tidak Hayati! Saya tidak kejam, saya hanya menuruti katamu. Bukankah engkau minta di dalam
               suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang
               kekal? Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Engkau bukan kecintaanku, bukan
               tunanganku, bukan isteriku, tetapi janda dari orang lain. Sebab itu secara seorang sahabat,
               bahkan secara seorang saudara, saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam
               persahabatan itu, sebagaimana teguhku dahulunya memegang cintaku. Itulah sebab dengan
               segenap ridha hati engkau kubawa tinggal di rumahku ini menunggu kedatangan suamimu.
               Kiranya sekarang bukan dirinya yang pulang kembali, tetapi surat cerai dan kabar yang
               mengerikan. Maka sebagai seorang sahabat pula, engkau akan kulepas pulang ke kampungmu,
               ke tanah asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat berlembaga, yang tak lapuk
               dihujan, tak lekang dipanas. Ongkos pulangmu biar saya mencarikan, demikian pun belanja
               berapa sedangnya. Dan kalau saya masih hidup, sebelum engkau beroleh suami pula: Insya
               Allah kehidupan selama di kampung akan saya bantu."

               "Zainuddin ....... Itukah keputusan yang engkau berikan kepadaku. Bukankah engkau telah
               termasyhur di mana-mana, seorang yang berhati mulia? Tidak! Saya tidak akan pulang, saya
               akan tinggal dengan engkau di sini. Biar saya kau hinakan, biar kau pandang sebagai babu yang
               hina. Saya tak perlu kau beri belanja berapa pun banyaknya, saya perlu dekat kau!"

               Ganjil sekali pengaruh air mata dan perkataan itu kepada hati Zainuddin. Perang perasaan
               dendam dan perasaan cinta dalam hatinya. Apakah yang akan ditunggunya lagi? Bukankah
               Hayati itu nyanyian hidupnya selama ini? Dia teringat kembali semuanya itu, dia perlu ada ber-
               Hayati di sampingnya. Dia tahu bahwa dia tidak [197] merasai bahagia hidup kalau tidak
               dengan Hayati. Tetapi terbayang pula kembali bagaimana mungkirnya dari janjinya. Bila
               terbayang yang demikian itu, hatinya patah kembali. Dalam kepatahan itu, kedengaran pula
               ratap Hayati beriba-iba, bersedih-sedih, meminta dikasihani, hatinya pun jatuh pula!
               Tetapi sebagai terdengar di telinganya beberapa perkataan yang sudah pernah diucapkan ninik-
               mamak Hayati kepadanya.
               "Kalau dia kawin dengan Hayati, kemana anak mereka akan berbako?"

               Dilihatnya Hayati duduk menentang bibirnya, laksana seorang pesakitan menentang bibir hakim
               yang hendak menjatuhkan hukuman, entah bebas entah hukum bunuh. Tampaklah gelung
               rambut perempuan itu, mukanya masih cantik jelita, air matanya mengalir menambah
   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128   129