Page 123 - Tenggelamnya Kapal
P. 123

24. AIR MATA PENGHABISAN



               ZAINUDDIN sedang termenung di dalam kamar tulisnya membalik balik surat yang diterimanya
               itu serta memandang surat kamar tersebut dengan hati sangat terharu. Tiba-tiba Hayati
               masuklah ke dalam memberanikan dirinya.
               "Duduklah!" kata Zainuddin.
               Hayati pun duduklah di sebuah kursi berhadap-hadapan dengan Zainuddin, muka perempuan
               muda itu muram saja kelihatan. "Adakah surat dari suamiku?" tanya Hayati.
               "Ada!"
               "Saya pun menerima pula, inilah dia," katanya lalu diberikannya surat itu ke tangan Zainuddin.

               Lama sekali kamar itu hening saja, tak sepatah perkataan pun yang keluar dari mulut kedua
               anak muda itu. Akhimya barulah Hayati berkata
               "Apa akal saya lagi, Engku Zainuddin?"
               "Ya, apakah akal kita lagi?" tanyanya pula sambil menggeleng-gelengkan kepala.

               "Saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali namamu
               sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainuddin! Saya akan sudi menanggungkan
               segenap cobaan yang menimpa diriku itu, asal engkau sudi memaafkan segenap kesalahanku."
               Pucat wajah Zainuddin mendengarkan perkataan itu. Tiba-tiba diangkatnya kepalanya dan
               dilihatnya Hayati dengan mata yang gagah: "Maaf?" ....... "Kau meminta maaf Hayati? Setelah
               segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengharapanku kau patahkan, kau minta
               maaf?"

               Terkejut bagai ditembak halilintar Hayati mendengarkan perkataan itu. Tidak disangka-
               sangkanya Zainuddin akan menjawab [195] demikian, pada hal dia telah menerima berita yang
               sahih dari Muluk.
               "Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu kepadaku, Zainuddin? Lekas sekalikah pupus
               dari pada hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan kepadaku hukuman yang begitu ngeri!
               Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka berganti-ganti in!" Zainuddin menekur,
               sambil mengeluh dia berkata:
               "Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walau pun kecil,
               dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walau pun bagaimana besarnya."
               "Lupakah kau," katanya pula - "siapakah diantara kata yang kejam? Bukankah kau telah
               berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak
               tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan
               menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tatapi kemudian kau beroleh ganti
               yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan.
               Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan
               orang lain, tetapi pilihan kau sendiri.
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128