Page 118 - Tenggelamnya Kapal
P. 118

kekayaan demikian, yang warp itu kemudian dapat diperniagakan bila telah beristeri,
               dicobanyalah meminang perempuan itu kepada keluarganya. Kiranya pinangannya ditolak orang
               dengan kasar, dia ticlak orang Minangkabau, dia tidak orang beradat berlembaga."
               "Sudahlah bang Muluk, sudahlah," ujar Hayati sambil menutup mukanya dengan kedua
               tangannya.
               Perkataan Hayati itu seakan-akan tidak didengarnya, pembicaraan diteruskannya juga.
               "Pinangan ditolak orang. Orang lebih suka menerima laki-laki yang lebih cukup syarat-syarat
               adatnya."
               "Sudahlah, bang Muluk, sudahlah."

               "Waktu itulah mulai hatinya remuk. Runtuh hancur luluh rumah kenang-kenangan yang
               didirikannya di dalam khayalnya. Dicobanya mengirim surat 2 dan 3 pucuk kepada perempuan
               itu meminta dikasihi, meminta supaya dikembalikan pengharapannya itu, minta supaya
               dijenguk, dilihat, sebab di waiah perempuan itulah tersimpan tali kehidupannya. Kiranya dapat
               balasan pula, bahwa cinta ditukar dengan persahabatan. Bahwa perempuan itu bukan dipaksa
               orang lain kawin dengan tunangannya tetapi atas kemauannya sendiri, sebab sudah
               dipikirkannya matang-matang. Sebab katanya, dia seorang perempuan miskin, pada hal di
               zaman sekarang perlu wang, dan Zainuddin seorang miskin pula.
               Dia terima ponis itu dengan hati yang teguh. Tetapi setelah terdengar olehnya bahwa
               perempuan itu telah kawin, dia jatuh sakit, hampir 2 bulan lamanya. Selama sakit itu yang jadi
               buah tuturnya hanya perempuan itu saja......."

               "Sudahlah, sudahlah bang Muluk .... jangan diteruskan juga ceritera itu ............"
               "Tidak Encik, biar saya teruskan. Apa yang kejadian sesudah sakitnya tak usah saya ceriterakan.
               Melainkan kami berangkat ke tanah Jawa ini, menghilangkan diri. Karena di masa sehabis sakit
               itu hampir dia membunuh diri. Saya dapati dia hendak menghamburi Batang Anai yang deras
               airnya itu. Itulah sebab saya ikut dia berangkat ke tanah Jawa ini. Kerapkali dia berkata
               kepadaku, Encik: "Bang Muluk! Semua sukar atas diriku, hatta mati sekalipun...........
               Sekarang dia masyhur, memang ....... karena yang dijalinnya menjadi hikayat, menjadi sya'ir
               menjadi tonil, semua adalah penderitaannya sendiri, air matanya, bahkan kadang-kadang darah
               nya. Itulah sebab saya katakan, dia beruntung hanya kelihatan oleh orang luar. Pada batinnya
               dia seorang yang melarat.
               Itulah sebabnya pula dia menjadi seorang yang pengasih penyayang, menjadi seorang yang
               belas kasihan. Dia selalu suka membantu orang yang melarat, karena sebenarnya dia seorang
               melarat. Kerapkali datang kepadanya anak-anak muda yang kekurangan ongkos buat kawin,
               meminta bantu kepadanya, dia keluarkaa uang secukupnya untuk upacara itu. Karena katanya;
               "Saya merasai [188] sendiri bagaimana pengaruhnya atas diri saya lantaran maksud tak sampai,
               biarlah anak muda itu tidak menanggung apa yang pernah saya tanggung."
               "........Encik......... sebetulnya engku Zainuddin masih tetap cinta kepada Encik. Tetapi sebagai
               seorang budiman dia hormati Encik sebagai isteri dari orang yang telah mengaku sahabatnya,
               meskipun orang itu pernah mengecewakan hidupnya. Bukan main terharu hatinya ketika dia
               ketahui kesengsaraan Encik bergaul dengan suami Encik.

               Encik dilarangnya masuk ke dalam kamarnya ....... Marilah saya bawa Encik ke sana, kita
               saksikan apa yang ada di dalam, sedang dia tak ada ini."
   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123