Page 117 - Tenggelamnya Kapal
P. 117

"Bukan Encik," jawab Muluk sambil menghela nafas panjang. "Bukan, Encik jangan salah terima
               kepadanya."
               "Mengapa abang Muluk larang saya mendekat ke kamar tulisnya?"

               "Ah ..... Encik!" keluh Muluk pula, sambil menggelengkan kepala dan menarik nafas sekali lagi.
               "Sudah terlalu lama saya makan hati berulam jantung di sini. Berilah saya kepastian. Jangan
               disusuti juga daging saya, jangan dikuruskan saya oleh angan-angan. Tunjukkan kepada saya,
               bang Muluk! Masih berdendamkah dia kepada saya! Masih belum adakah pada engku Zainuddin
               maaf kepada saya?"
               "Encik .....! Duduklah baik-baik di kursi itu ......." jawab Muluk.

               "Sebetulnya sudah berkali-kali engku Zainuddin memesankan kepada saya, menyuruh tutup
               rahasia dirinya, walau pun siapa yang bertanya. Tetapi sekarang ini saya sudah tak dapat
               menahan lagi. Akan saya terangkan, walau pun kelak dia akan marah kepadaku karena dia
               sebenarnya lebih banyak maafnya dari pada marahnya." "Bagaimana?" tanya Hayati pula
               dengan rupa yang ingin tahu dan dada berdebar.

               "Dia seorang pemuda yang tak beruntung!"
               "Tak beruntung? Apakah artinya itu? Bukankah kemasyhuran, kemegahan, kemuliaan, menjadi
               cita-cita laki-laki sebagaimana kecantikan dan kepujian menjadi cita-cita perempuan?"
               "Apakah artinya kemuliaan, Encik; kalau maksud tak sampai? Dia adalah laksana seekor burung
               elang yang hendak meningkat lanpit, tetapi sayapnya patah," ujar Muluk.
               "Saya sudi menjadi temannya, karena saya kenal betul akan dia. Bukankah lebih setahun
               lamanya dia menumpang di rumah ibuku di Padang Panjang? Dia seorang muda yang melarat.
               Melarat Sari sejak asal dan turunan, pusaka yang diterimanya sejak dari ayah dan bundanya.
               Ayahnya terbuang jauh dari kampung halaman, sampai mati di rantau setelah kembali dari
               buangan, lantaran malu pulang ke kampung. Lagi pula meskipun pulang, bukankah ada
               pepatah: "Tak ada ranggas di Tanjung, cumanak ampaian kain. Tak ada emas dikandung,
               dunsanak jadi 'rang lain."

               Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar
               dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita
               hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia.
               Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap
               dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang."

               Debar jantung Hayati bertambah-tambah mendengarkan ucapan Muluk itu.
               "Setelah itu, dia diusir dari sana. Diusir dari tanah asal keturunannya. Tetapi meskipun dia
               diusir, hatinya tetap dan teguh, sebab ada seorang perempuan - menurut keterangannya sendiri
               - yang telah memberi bujukan kepadanya, yang telah berjanji akan menunggunya, bila pun
               masanya dia pulang. Dia hidup di Padang Panjang dengan pengharapan demikian. Dituntutnya
               i1mu baik keduniaan atau ilmu akhirat, dengan pengharapan bahwa nanti dengan itulah
               bekalnya menemvuh hayat, bersama perempuan yang berjanji itu.
               Dalam satu pacuan kuda perempuan itu mulai tertarik dengan laki-laki lain, yang lebih gagah,
               mulia, kaya raya, beradat dan turunan tulen Minangkabau. Tiba-tiba sampailah kepadanya
               warta bah wa ibu angkatnya itu telah meninggal pula di Mengkasar. Tetapi dia dapat-waris Rp.
               3000,- Lantaran mengingat dia telah ada kesanggupan memelihara perempuan itu dengan
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122