Page 116 - Tenggelamnya Kapal
P. 116
22. DEKAT, TETAPI BERJAUHAN
DI BERANDA sebuah rumah makan yang ramai dalam kota Surabaya, sehabis waktu magrib,
duduklah Zainuddin seorang dirinya, mengepul asap rokoknya ke udara. Meski pun kendaraan
ba nyak lalu lintas di hadapannya, semuanya seakan-akan tak terdengar olehnya, sebab
pikirannya sedang melayang-lapang ketempat lain..........
Hayati, kecintaannya, pusat pengharapannya, sekarang sudah ada dalam rumahnya sendiri.
Sudah berminggu dia memakan masakan Hayati, sudah berminggu makan minumnya dia
menanak kan, kain bajunya, ditolongnya mencucikan. Alangkah beruntungnya sekranya dia,
kalau sekiranya jadi dahulunya dia kawin dengan Hayati. Alangkah lapang terluang medan
tempatnya berjuang di dalam hidup ini Tentu rambutnya tak akan lekas gugur sebagai
sekarang. Tentu dia akan menghadapi perjuangan hidup dengan gembira.
Telah hampir genap cita-citanya, tinggal dalam sebuah rumah yang sederhana, cukup perkakas,
cukup kekayaan, temama, termasyhur. Hanya satu saja kekurangannya, ibarat alam yang keku
rangan matahari, itulah nasibnya yang kekurangan Hayati. Sekarang Hayati itu sudah ada dalam
rumahnya. Tetapi "ijab dan kabul" nya dengan Aziz, inai yang melekat di kukunya seketika dia
menziarahinya ketika sakit dahulu, semuanya telah menjadi batas, yang menyebabkan mereka
seorang di bumi dan seorang di langit, seorang di ufuk Timur dan seorang di ufuk Barat.
Sekembali dari stasiun mengantar Aziz, disuruhnya Muluk [194] mencari seorang babu tua
untuk teman Hayati di dalam rumah. Setelah itu, dia telah kurang dalam rumah, hanyalah di
waktu makan dan di waktu tidur saja. Boleh dikatakan dalam waktu-waktu demikian dia. kurang
mengarang.
Hayati sendiri gelisah pula dalam rumah itu. Mengapa sejak dia ada, Zainuddin seakan-akan tak
memperdulikan dia. Seakan-akan kedatangannya menjadi keberatan kepada Zainuddin. Kalau
sekiranya keberatan, mengapa disanggupinya membiarkannya menumpang dalam rumahnya
sebelum suaminya datang menjemput. Ada pula yang lain yang menambah masygulnya. Dia
diberi kemerdekaan oleh Zainuddin dalam rumah, sejak dari muka lalu ke belakang, cuma satu
saja yang tidak boleh dimasukinya, yaitu kamar tulisnya. Demikianlah pesan yang disampaikan
secara halus dengan perantaraan Muluk.
Inilah yang mengherankan dalam pertalian budi bahasa di dunia ini. Dia sangat cinta, seluruh
iramanya, ilham yang menerbitkan semangatnya mengarang, semuanya ialah lantaran ingat
akan Hayati. Sekarang Hayati telah ada dalam rumahnya, tetapi tidak diacuhkannya. Itu adalah
tersebab dari cinta yang bermukim dalam hatinya bukan cinta kenafsuan, tetapi cinta murni.
Cinta yang menyebabkan muliabudiseorang pemuda yang dihinggapinya.
Pada malam Zainuddin termenung-menung di rumah makan itu, Hayati menunggunya di rumah
dengan kurang sabar, sebab sudah datang waktu makan. Dia bertanya kepada Muluk:
"Mengapa engku Zainuddin tak juga pulang?"
"Barangkali tengah malam baru dia. kembali, sebab banyak urusannya di luar."
"Mengapa sejak saya di sini dia bagai orang ketakutan saja? Adakah kedatangan saya
memberatinya?" tanya Hayati dengan masygul.