Page 112 - Tenggelamnya Kapal
P. 112
Dalam pada itu, Aziz telah berbuat beberapa pekerjaan yang tidak akan dapat dimaafkan,
karena mengingat salahnya selama ini. Yakni dari persahabatannya dengan Zainuddin dia telah
mengambil kesempatan yang biasanya diperbuat oleh orang yang rendah budi. Dengan muka
yang tebal, tak mengenal kesalahan-kesalahan yang lama, sudah dua tiga kali dia meminjam
uang kepada Zainuddin. Inilah agaknya takwil perkataannya kepada Hayati tempo hari,
mengatakan bahwa tidak ada jahatnya jika kita bersahabat kembali dengan orang yang ternama
demikian.
Dia pergi berjudi. Kalau dia menang, maka uang kemenangan itu dibawanya bersama teman-
temannya mencari perempuan. Kalau dia kalah, dia pulang dengan muka asam, meradang ke
sana, menyembur kemari. Sehingga sudah dua tiga kali mengganti babu, karena tidak ada yang
tahan lama. Yang lebih menyolok mata lagi, kalau babu itu agak muda, kerap kali dipermain-
mainkannya, walaupun di hadapan isterinya.
Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya diikut oleh Hayati. Barang masnya
telah habis; dokohnya, gelangnya, penitinya, semuanya telah masuk rumah gadai. Tetapi yang
sangat menyakitkan hati, pernah dia menyesali untung di hadapan Hayati, dikatakannya bahwa
dia menyesal beristeri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak pandai mengobat hati
suaminya.
Kalau terdengar perkataan demikian, apakah kepandaian Hayati, seorang perempuan yang
lemah, lain dari pada menangis? Siapa orang lain yang akan disalahkannya? Kalau bukan dirinya
sendiri? Bukankah seketika ninik mamaknya menerima permintaan Aziz, dia sendiri pun
menyukainya? Bukankah pernah dia berkirim surat kepada Zainuddin mencegah Zainuddin
menyesali bekal suaminya, karena dia sendiri yang memilihnya?
Di dalam rumah dirasanya sebagai dalam neraka, akan lari tak dapat! Karena Hayati adalah
seorang perempuan lemah lembut, yang lebih suka berkorban, hatta jiwanya sendiri, dari pada
meng ganggu orang lain. Dia ingat satu pepatah yang pernah dibacanya dalam buku: "Per
uangan laki-laki di medan perang, perjuangan perempuan dalam rumahnya."
Bahaya yang telah disangka-sangaa mesti datang itu, pun datanglah. Sepandai-pandai
membungkus, yang busuk berbau juga. Semasa Aziz tinggal di Padang masih dapat dia
meminta uang ke pada ibunya kalau dia tekor atau meminjam kian kemari. Sekarang hidup di
rantau. Berapa kali hutangnya kepada orang yang suka mentemakkan uang, telah dapat dibayar
oleh Zainuddin, 'sahabatnya yang kasihan kepadanya itu. Tetapi malang akan turnbuh, ada
seorang di antara temannya sama-sama bekerja yang benci melihat perangainya, telah mencari
beberapa bukti kesalahannya, yang dapat menyebabkan keberhentiannya dari pada
pekerjaannya. Bukti-bukti itu telah dilonggakkan orang dengan diam-diam, orang hendak
menjatuhkannya dari pekerjaan dengan cara yang tiba-tiba. [179]
Karena orang tahu, kalau dia mengerti hal itu, dia akan meminta bantu kepada sahabatnya
pengarang temannya itu, atau dia lari dari kota Surabaya. Maka pada suatu hari datanglah
seorang tempatnya berhutang, menagih piutang-yang telah lewat temponya. Datanglah dengan
tiba-tiba sekali, karena telah diatur lebih dahulu oleh musuh-musuhnya. Kebetulan uang sedang
tak ada, janji tak dapat dipenuhi. Orang pun berkerumun di hadapan rumahnya, melfliat orang
yang meminjaminya uang itu dengan muka manis bagai madu, tetapi hati yang kejam bagai
hati serigala, menyuruh membayar hutang, kalau tidak barang-barangnya di dalam rumahnya
akan diangkut, dilelang.
Sedang bertengkar-tengkar demikian, sep kantor tempatnya bekerja datang bersama dengan
kawan samanya bekerja yang telah menahankan perangkap buat kejatuhannya itu. Dengan