Page 111 - Tenggelamnya Kapal
P. 111
membukanyn hatinya,_ dan sekarang telah tertutup kembali. Satu makhluk pun tak ada yang
kuasa membukanya, kalau bukan yang pertama jua. [176]
Jadi cerita-cerita yang dibikinnya itu dan tonil yang merawankan hati meremukkan jiwa
penonton, lain tidak hanyalah gubahan ratap semata. Kata si pembaca atau penonton,
semuanya adalah ra tap kepada masyarakat, pada hal pada hakikatnya ratap kepada nasibnya
sendiri.
Salah orang yang menyangka bahwa Hayati telah hilang dari hatinya. Masih hidup, masih
tergambar dengan jelas. Lemah segenap persendiannya seketika dia mula-mula bertemu
dengan Hayati; sudah sebulan lebih dia mendengar dari Muluk bahwa Hayati ada di kota
Surabaya, sehingga dimintanya kepada pengurus perkumpulan "Club Anak Sumatera" supaya
dia dan suaminya diundang. Tetapi meskipun lemah persendiannya, kuat kuasa dia menahan
hatinya dan menjaga perobahan wama mukanya, sehingga tidak kelihatan sedikit juga oleh
Hayati dan suaminya, seketika itu.
Dengan sebaik-baiknya persahabatannya telah bertali kembali. Aziz yang nandai sekali
mengambil muka telah meminta maaf kepadanya kaEena kejadian-kejadian yang sudah-sudah
itu. Dengan manis pula Zainuddin menjawab, bahwa hal yang telah lalu itu lebih baik dihabiskan
saja, dipandang seakan-akan tak ada. Karena - kata Zainuddin - kalau dia ingat kejadian itu, dia
sendiri pun tertawa, sebab itu hanyalah perasaan-perasaan yang biasa datang kepada :. nak-
anak muda dizaman mulai remaja, yang mesti habis dan musnah bilamana kesadarannya telah
timbul... Mendengar itu bertambahlah Aziz mendekatkan diri kepadanya dan kepada isterinya
pun dikabarkannya pula bahwa hal itu sudah habis hingga itu. Katanya kepada isterinya :
Tidaklah kita akan rugi jika kita berkenalan dengan orang yang masyhur itu.
Persahabatan itu telah karib. Cuma yang selalu dielakkan benar oleh Zainuddin ialah bersua
dengan Hayati berdua-dua. Kalau dia bertemu dengan Hayati senantiasa di dekat suaminya.
Dalam hatinya terbit dua perjuangan, pertama cinta yang kokal kepada Hayati, kedua perasaan
dendam yang sukar mengikis, lantaran mungkir Hayati kepada janjinya.
Kian sehari, kian sebulan, kian nyatalah bahwa kepuasan [177] Aziz hanya di luar rumah. Telah
bosan dia di dalam rumahnya, bosan dengan isterinya yang setia. Semalam-malaman hari dia
hanya bersenda gurau dengan perempuan-perempuan cantik, dan kadangkadang bersenda
gurau dengan teman sepermainan di atas meja judi.
Bagaimanakah akal perempuan muda yang malang itu di hadapan nasib yang begini rupa? Akan
dicegahnya suaminya dari pada perbuatan itu, tidak sampai hatinya, takut kalau-kalau memba
wa celaka yang lebih besar, yaitu pertengkaran mulut yang telah kerap terdengar oleh orang
sebelah menyebelah rumah.
Oleh karena nasib yang demikian, Hayati telah berubah sikap. Dia telah benci kepada segala
yang ramai, mengundurkan diri dari pergaulan, berbenam saja dalam rumahnya seorang diri,
tidak ada temannya melainkan penjahitannya. Tidak dia peduli, tidak dia bertanya kemana
suaminya; hendak pergi, pergilah, telat pulang, masa bodoh! Mukanya muram, badannya telah
kurus. Disinilah dia teringat kembali salah satu dari isi surat Zainuddin kepadanya dahulu, yang
menusuk sangat ke dalam jantungnya, yang kian lama kian nyata kembali meskipun beberapa
waktu lamanya ter - sembunyi: "Jangan sampai terlintas dalam hatimu bahwa ada pula bahagia
selain bahagia cinta. Kalau kau percaya ada pula satu ke` bahagiaan selain kebahagiaan cinta,
celaka diri kau dik! Kau menjatuhkan ponis kematian ke atas diri kau sendiri!"