Page 110 - Tenggelamnya Kapal
P. 110

21. HATI ZAINUDDIN



               NAMA Zainuddin telah masyhur. Dalam segala kalangan di Surabaya, dia telah ternama.
               Menjalar ke seluruh tanah Jawa, dan lebih lekas lagi tersiarnya nama penulis "Z" di seluruh
               Indonesia. Banyak dia menerima surat-surat pujian, banyak pula tetamu temama yang telah
               ziarah ke rumahnya, memuji karangannya yang baru, menyanjung tonilnya. Demikian juga
               penduduk Mengkasar, telah banyak yang tahu bahwa penulis "Z" itu adalah nama potongan dari
               Zainuddin, yang sekarang terkenal dengan nama Shabir, artinya penyabar. Mengkasar bangga
               dengan dia.

               Demikian penuh kehormatan yang ditaruhkan orang ke atas diri pengarang muda itu. Orang
               pun heran, dia pandai benar menceriterakan nasib orang-orang yang sengsara, padahal kalau
               dilihat keadaan hidupnya tiap hari, gembiranya dalam pergaulan, serasa-rasa tak dapat
               dicocokkan kalangan-karangannya dengan keadaan dirinya. Cuma seorang manusia yang tahu,
               bahwa pengarang yang di muka umum menunjukkan gembira dan senyumnya yang menarik
               hati itu, adalah seorang yang bila hari telah malam, bila penduduk kota sudah mulai pulang ke
               rumah masing-masijig,bila suara kendaraan telah sepi, dia duduk seorang diri di dalam kamar
               tulisnya. Kadang-kadang dia menulis hikayat, tetapi banyak pula dia bermenung saja, sekali-kali
               diambilnya biolanya, dilagukannya lagu-lagu yang sedih, atau dia bernyanyi dengan lagu-lagu
               yang merawankan hati dari lereng-lereng gunung Singgalang. Seorang saja orang yang tahu
               keadaan itu. Muluk, sahabatnya. [175]
               Dia duduk bersunyi-sunyi seorang dirinya, hanya sekali-sekali yang ditemani Muluk,
               mengenangkan nasibnya. Seakan-akan dihamparkannya di mejanya daftar sengsara yang telah
               ditempuhnya sejak kecilnya, lalu kepada kecewanya dalam percintaan semasa tinggal di
               Sumatera Barat. Bilamana kenangan itu sampai kepada Hayati, kepada janji dan sumpah
               setianya, masa dia terusir dari Batipuh, sampai kepada perkawinan Hayati, dan surat-suratnya,
               dan akhirnya kepada semasa dia sakit di Padang Panjang, dia pun menarik nafas panjang.
               Kadang-kadang lantaran mengingat itu, timbullah inspirasi yang bergelora dari semangatnya;
               seakan-akan itulah yang menyebabkan datangnya ilham yang bertubi-tubi kepadanya di dalam
               menyusun hikayat.

               Seakan-akan terbayanglah di mukanya sawah-sawah yang berpadi masak di Sumatera Barat,
               seekor unggas pun tak datang hendak memakan buah padi itu, sehingga tak perlu digarakan
               lagi. Trba-tiba datanglah angin puting beliung yang hebat, buah padi itu pun gugurlah dari
               tangkainya. Batangnya telah sama datar dengan bumi, tidak ada pengharapan tegak lagi.
               Demikianlah rasa dirinya ketika itu; sebagai suatu kebun yang tinggal tak diulangi manusia.
               Putus perhubungan dengan segenap isi alam. Hidup dia dengan tak berkaum kerabat, terpencil
               di suatu kuruk yang jauh; diam di negeri yang seramai-ramainya, tetapi hidup dalam kesunyian.
               Lantaran, lantaran Hayati tak ada di dekatnya.
               Diakuinya sekarang dia sudah kaya, sudah ada padanya sumber mas. Asal dia mengarang satu
               buku, bukan dia lagi yang meng antarkan kepada penerbit, tetapi oranglah yang mencari dan
               me minta dengan tidak ada kesabararn Wang pusakanya telah berfpat ganda, dalam pergaulan
               dia terkenal, pendeknya sudah trampir cukup kemegahan yang sepadan dengan dirinya. Tetapi
               ..... apakah gunanya, rumah cantik yang ditinggalinya, perkakas rumah yang cukup, kemegahan
               dan kepujian, kalau sekianya tidak ada tempat hati, tempat cinta pertama yang mula-mula
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115