Page 119 - Tenggelamnya Kapal
P. 119

Maka Muluk pun berdiri dari kursinya, diajaknya Hayati melangkah ke kamar tulis itu. Dibukanya
               dengan kunci yang terpegang di tangannya. Diterangkannya lampu. Tiba-tiba kelihatanlah di din
               ding beberapa gambar, yang diambd dari omslag buku-buku yang dikarangnya. Satu
               diantaranya ialah omslag buku "Terusir" yang menyebabkan namanya telah sangat termasyhur.
               Dan ada beberapa gambar lain. Warna kamar itu muram saja, tetapi bersih dan kokoh. Di dekat
               jendela yang menghadap ke beranda muka yang ditumbuhi oleh pohon-pohon palm, ada
               sebuah meja tulis yang cantik. Di samping itu ada sebuah bangku, tempat Zainuddin berbaring
               dan beristirahat bila payah mengarang. Tersandar ke Binding sebuah almari kitab, yang
               dipenuhi oleh kitab kesusasteraan asing, baik Belanda, baik Inggeris dan apalagi kesusasteraan
               Arab yang berjilid jilid. Sebelah ke atas terletak kitab-kitab Al-Afghaani Al 'Iqdul Farid, Tarikh
               Ibnu Khadlun dan kitab Ihya Ulumuddin. Di bawahnya berderet Winkler Prins Encyclopaedie,
               yang berjilid-jilid pula. Di tentang almari itu terletak sebuah gambar besar, tetapi ditutup
               dengan sutera hijau, sehingga tak kelihatan siapakah Yang tergambar di sana.
               "Encik Hayati!" kata Muluk memecah tercengang Hayati dalam kamar itu. "Disinilah anak muda
               yang malang itu selalu menyadari nasibnya. Tetapi dari sinilah sumber kemasyhurannya dalam
               kalangan kesusasteraan bangsa kita yang mulai tumbuh ini." [189]

               "Kalau begini indahnya kamar ini, mengapa saya dilarang masuk?" tanya Hayati.
               "Inilah sebabnya," kata Muluk, sambil mengambil sebuah tongkat, berulukan gading, dari
               kemuning tua bikinan Donggala, kiriman kepala kampung di sana yang tertarik dengan karargan
               karangan Zainuddin. "Inilah sebabnya," katanya, sambil menghindarkan tutup sutera yang
               melindungi gambar di atas kepala almari kitab itu. Kiranya ....... gambar Hayati yang telah
               diperbesar. Gambar Hayati semasa masih gadis. Di bawah gambar itu tertulis: "Permataku yang
               hilang."

               Hayati terkejut melihat gambar itu, wajahnya pucat, terlompat dari mulutnya perkataan: "O,
               bang Muluk! Rupanya dia masih ingat akan daku!"

               "Ingat, dan selamanya dia tak akan lupa. Tetapi ..... Hayati yang dicintainya itu telah hilang."
               "Dia masih ada abang, ini dia!"

               "Hayati yang dicintainya tidak ada lagi, telah mati. Semangat Zainuddin telah dibawanya
               bersama-sama ke kuburnya. Hayati yang menumpang di rumahnya sekarang, ialah sahabatnya,
               isteri pula dari sahabatnya ......."
               Dengan langkah yang bagaikan jatuh, Hayati keluar dari kamar itu, kembali ke dalam kamarnya
               sendiri, menghempaskan kepalanya yang mungil ke atas bantal.
               Pada saat itu tahulah dia sudah, bahwa Zainuddin masih tetap cinta akan dia. Cinta yang tidak
               pernah padam, melainkan jadi pelita di dalam perjuangan hidupnya, meskipun mereka telah
               terbatas buat selama lamanya.
               Demikianlah Hayati tidur di kamar itu. Kedengaran olehnya tiap-tiap jam berbunyi, kedengaran
               pula langkah Zainuddin pulang tengah malam; sampai akhirnya kedengaran bunyi kokok ayam
               berderai-derai, alamat hari 'kan siang .......
   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124