Page 132 - Tenggelamnya Kapal
P. 132
Mengapa suratku ini banyak membicarakan mati? Entahlah, Zainuddin, saya sendiri pun heran,
seakan-akan kematian itu telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau
berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan do'a kepada Tuhan, moga-moga jika
banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat,
pertemuan yang tidak akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh rasam basi
manusia ..........
Selamat tinggal Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak
kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut
kalimat syahadat, yaitu: Aku [208] cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di
dalam mengenangkanengkau"............
Sambutlah salam dari
Hayati.
Setelah selesai surat itu dibukanya, dilihatnya Muluk kembali, kiranya kelihatan oleh Muluk
pipinya telah penuh dengan airmata.
"Bang Muluk !" katanya beberapa saat kemudian, setelah menyapu air matanya. "Saya akan
berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam nanti, pukul 9 besok pagi sampai di Tanjung
Periuk. Biasanya kapal dari Surabaya merapat di pelabuhan Tanjung Periuk pukul 7 pagi. Hayati
akan saya jemput kembali, akan saya bawa pulang ke mari.
"Inilah keputusan yang sebaik-baiknya guru," kata Muluk. Dia berdiri dari tempat duduknya, di
dekatinya Zainuddin dan dibarut-barutnya punggung anak muda itu. Lalu dia berkata pula,
"Mudah-mudahan berhentilah segala kesedihan tuan-tuan keduanya sehingga ini, dan biarlah
rahmat Allah meliputi tuan-tuan berdua .......
Sudah putus dalam pikiran Zainuddin, bahwa nanti dengan kereta api malam dia akan
berangkat ke Jakarta, menyongsong Hayati di Tanjung Periuk, akan dibawanya kembali ke
Surabaya. Alam akan jernih, kabut akan sirna, hujan akan teduh, dan kehidupan akan dimulai di
dalam keberuntungan.
Tetapi cita-cita manusia tidak dapat melawan kehendak takdir!
Nanti malam dia akan berangkat, padahal pukul 3 sorenya, surat-surat kabar harian yang terbit
dalam kota Surabaya telah sampai ke rumahnya. Sebagai seorang yang memang telah terikat
pikirannya kepada surat kabar, baru saja koran-koran itu terletak di atas meja, segera
dibukanya. Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran,
"Kapal Van der Wijck tenggelam."
Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran itu dibacanya terus:
KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM
Dari detik ke detik kapal itu semakin hilang ke dalam dasar lautan .....