Page 129 - kebudayaan
P. 129

Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan
            seakan-akan kehilangan vitalitas. Mengisi kemerdekaan ternyata tidak
            semudah yang diangankan (Rosidi, 1982: 134). Pada masa tersebut,
            Indonesia sedang berada dalam masa krisis. Berbagai krisis terjadi
            pada masa tersebut, di antaranya krisis akhlak, krisis ekonomi, dan
            krisis moral. Apa yang terjadi di dunia luar tersebut juga melanda
            dunia sastra. Krisis ekonomi menyebabkan terbitan karya sastra pada
            masa itu hanya dalam bentuk majalah. Karya sastra dalam bentuk buku
            mulai jarang muncul. Hal itulah yang memunculkan isu adanya krisis
            dalam kesusastraan Indonesia. Nugroho Notosusanto dalam Situasi
            1954 (2000) menyatakan bahwa isu krisis sastra tersebut awalnya
            muncul dalam dua simposium, yaitu “Symposium Kesusasteraan In-
            donesia Modern” Sticusa Amsterdam dan “Symposium Kesusasteraan”
            mahasiswa Fakultas Sastra UI di Jakarta.
                Periode 1950-an juga disebut sebagai masa peralihan (Rosidi,
            1969: 135). Masa sastra Indonesia yang dijaga oleh penerbit Balai
            Pustaka dengan penerbitan buku-bukunya sudah berakhir. Ke-
            merdekaan yang diperoleh Indonesia mewajibkan rakyatnya untuk
            dapat mengelola negaranya sendiri, termasuk mengelola dunia sastra.
            Masalahnya, orang-orang Indonesia belum siap untuk mengelola
            negaranya dengan baik. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya
            krisis di dalam berbagai bidang, termasuk sastra. Kondisi tersebut
            menjadi penting untuk dibicarakan. Berbagai catatan dari kondisi
            tersebut sudah ditulis oleh kritikus Indonesia pada masa tersebut dan
            juga pada masa-masa sesudahnya. Sebagai contoh, tulisan Nugroho
            Notosusanto dengan judul “Situasi 1954”, tulisan Sitor Situmorang   Buku ini tidak diperjualbelikan.
            dengan judul “Pengaruh Luar terhadap Sastra Indonesia yang Terbaru”,
            dan tulisan Pramoedya Ananta Toer berjudul “Lesu, Kelesuan, Krisis,
            Impase” (Kratz, 2000: 111). Namun, tulisan-tulisan tersebut masih
            terpecah-pecah dan belum disatukan dengan baik. Tulisan-tulisan
            tersebut masih berbentuk pendapat yang berbeda-beda. Beberapa





          116    Narasi Kebangsaan dalam ...
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134