Page 163 - Tan Malaka - MADILOG
P. 163

BAB VII

                         PENINJAUAN DENGAN MADILOG




             Pasal 1. PERMULAAN KATA.
             Kembali kita memandang kepada Madilog. Pada permulaan buku ini dia
             masih satu barang yang kabur. Tetapi lama dia dapat sepuhan. Sekarang
             dia  kembali  dari  sepuhan  dengan  memperlihatkan  cahaya  yang  lebih
             terang.
             “Madilog” ialah cara berpikir, yang berdasarkan Materialsime, Dialektika
             dan  Logika  buat  mencari  akibat,  yang  berdiri  atas  bukti  yang  cukup
             banyaknya dan tujuan diperalamkan dan di peramati.

             Madilog  bukanlah  barang  yang  baru  dan  bukanlah  buah  pikiran  saya.
             Madilog  ialah  pusaka  yang  saya  terima  dari  Barat.  Bukan  pula
             dimaksudkan  diterima  oleh  otak  yang  cemerlang  seperti  tanah  subur
             menerima  tampang  yang  baik.  Saya  akui  kesederhanaan  saya  dalam
             segala-galanya, pembawaan atau talent, masyarakat, didikan, pembacaan
             dan kesempatan. Maksud saya terutama ialah buat merintis jalan teman
             sejawat  saya,  dengan  buku  ini,  mempersilahkan  mempelajari  cara
             berpikir dunia Barat dengan rendah hati sebagi murid yang jujur dan mata
             terbuka.
             Disini  dengan  jelas  dan  terus-terang  saya  mau  mengatakan,  bahwa
             Madilog  sama  sekali  tepat  berlawanan  dengan  “ketimuran”  yang
             digembar-gemborkan lebih dari mestinya, semenjak Indonesia dimasuki
             tentara Jepang. Lebih jelas pula saya mesti terangkan bahwa yang saya
             maksud dengan ketimuran itu, ialah segala-gala yag berhubungan dengan
             Mistika, Kegaiban, dari manapun juga datangnya di timur ini. tiada pula
             saya maksudkan, bahwa sudah taka ada yang gaib di dunia, yakni sudah
             semua  diketahui.  Pengetahuan  tidak  akan  bisa  habis  dan  tidak  boleh
             habis. Seperti juga “satu” kata tuan , “dua” kata saya. “Sejuta” sahut tuan,
             “Sejuta  ditambah  satu”  jawab  saya  pula.  Dan  seterusnya.  Demikianlah
             juga  pengetahuan  baru  menimbulkan  persoalan  baru,  terus-menerus.
             Tetapi  persoalan  baru  itu  akan  terus-menerus  pula  bisa  diselesaikan.
             Tidak  ada  batas  pengetahuan  dan  tiada  pula  batas-batasnya  persoalan.
             Inilah  bahagian  dari  kehidupan  manusia  dan  bagian  dari  dunia  pikiran.
             Barang  siapa  mengaku,  bahwa  ada  batas  pengetahuan  atau  batas
             persoalan,  maka  dia  jatuh  kelembah  mistika  terperangkap  dogmatisme.



             162
   158   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168