Page 25 - Modul Literasi Buku Fiksi dan Nonfiksi
P. 25
Buku Fiksi dan Nonfiksi --- Menjelajah Dunia dengan Membaca 20
Apalagi anak ini, anak satu-satunya.
Cahaya bulan yang redup masuk dari jendela, jatuh tepat di kemeja
hijau lusuh yang si suami pakai. Dia masih tidak rela, hanya bisa
melihat anaknya tidur, dengan mulut setengah terbuka, tanda tidurnya
terlalu pulas. Gigi yang mengintip di bawah bibir, terlihat putih, seperti
susu yang masih segar.
'Lagian kalau anaknya udah digendong kamu mau apain?' tanya si
istri.
'Diliatin aja, gitu?'
'Pertama-tama,' kata si suami, 'Aku mau kecup jidatnya. Karena setiap
pulang selesai mencari uang, hanya dahi itu yang bisa melarutkan rasa
capek yang terkumpul. Aneh lho, bisa lenyap, gak bersisa.'
'Terus' tanya si istri.
'Terus, aku lihat kelopak matanya. Aku minta maaf. Bisik-bisik, tentu
saja. Aku mau bilang, 'Maaf ya nak, ayah masih belum bisa beliin
mainan kesukaan kamu yang kamu like di instagram minggu lalu.'
Maaf, ayah terlalu naif menaruh uang keluarga kita di bisnis cafe Ayah,
hilang gak bersisa digebuk segala pandemi virus kovat kovit ini. Enam
bulan tanpa pemasukan memang waktu yang terlalu lama untuk
membuat cafe sederhana Ayah rata dengan mimpi yang Ayah bangun
untuk kita.'
Lalu aku akan bilang, percayalah Ayah sedang berusaha untuk
mencari uang kembali, agar kita bisa berhenti makan sehari sekali.
Agar kamu bisa ikutan beli es krim Magnum yang anak komplek
sebelah suka makan sore-sore. Maaf tapi ayah terus berusaha kok,
yakin di tengah pandemi seperti ini, akan ada teman atau saudara kita
yang baik, meminjamkan uang, memberikan modal untuk usaha kita,
usaha dari rumah.'