Page 219 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 219

Pemikiran Agraria Bulaksumur
                Namun, sejumlah ekonom menolak penjelasan faktor alam
            itu. Mereka menyebut bahwa kenaikan itu merupakan hasil dari
            program intensifikasi pertanian yang kebetulan menjadi titik berat
            pembangunan lima tahun tahap pertama pemerintahan Orde Baru
            (Pelita I, 1969-1974). Penggunaan pupuk yang kian massif beserta
            pemakaian bibit unggul menjadi alasan yang paling banyak
            dikemukakan. Apalagi, Revolusi Hijau memang baru saja disemai
            di Indonesia. Pendek kata, kenaikan produksi beras adalah buah
            dari manajemen pembangunan.
                Sementara, sebagian ekonom lainnya mencoba mengambil
            jalan tengah dengan mengatakan bahwa kombinasi iklim yang
            baik, ditambah dengan perencanaan serta konsepsi ekonomi yang
            tepat, adalah faktor-faktor yang telah menyebabkan tercapainya
            rekor produksi beras. Silang pendapat mengenai sebab-sebab
            meningkatnya jumlah produksi beras itu terdokumentasi dengan
            baik dalam tajuk rencana yang ditulis Harian Pedoman pada Sabtu,
            10 Mei 1969. 2
                Jika disimak sekilas, semua penjelasan tadi sepenuhnya logis,
            serta secara teknis memang berhubungan atau bisa dikaitkan
            dengan angka kenaikan produksi padi. Hanya saja, nampaknya
            tak semua orang sepandangan dengan berbagai model penjelasan
            yang—meminjam istilah Galbraith—bersifat “conventional wisdom”
            tadi.  Dan satu-satunya orang yang dengan tegas menolak semua
                3
            penjelasan tadi adalah ekonom muda bernama Mubyarto (1938-
            2005). Mubyarto, yang waktu itu menjabat sebagai penasihat
            menteri perdagangan (dijabat oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadi-



                2  Tajuk itu dicuplik secara utuh dalam Hutabarat, ibid., hal. 95-96.
                3  John Kenneth Galbraith, The Affluent Society (New York: Mentor Book,
            1958), lihat Chapter II, “The Concept of Conventional Wisdom”, hal. 17-26.

            200
   214   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224