Page 118 - Pengembangan Teaching Factory di SMK Pertanian - M. Reski Sujono
P. 118
keterampilan di pendidikan vokasi sangat memerlukan kolaborasi
dan kerjasama (partnership) dengan dunia usaha, dengan
dikoordinasi oleh pemerintah. Kolaborasi yang baik antara lembaga
pendidikan vokasi dan dunia usaha telah menjadi kunci sukses
pelaksanaan program partnership. Dengan demikian
mengembangkan kualitas pendidikan vokasi akan lebih baik karena
memungkinkan komunikasi yang sering antara lembaga pendidikan
dan perusahaan.
Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Pendidikan Vokasi
Kemendibud telah mengeluarkan regulasi sinergitas antara lembaga
pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri. Program ini
disebut Link and Match yang terdiri dari lima paket sebagai berikut:
1. Terciptanya link and match antara vokasi dengan dunia
industri adalah pembuatan kurikulum bersama. Di mana
kurikulum tersebut harus disinkronisasi setiap tahun dengan
industri.
2. Pihak industri wajib memberikan guru atau dosen tamu.
Minimal pengajaran dari dosen dan guru tamu ini dilakukan
minimal 50 jam per semester.
3. Pemberian magang kepada siswa SMK dan mahasiswa vokasi
dari industri yang dirancang bersama, minimal satu semester.
4. Sertifikasi kompetensi. Kompetensi merupakan hal yang
sangat penting untuk lulusan vokasi. Sertifikat dibutuhkan
untuk menunjukan level kompetensi lulusan vokasi.
5. Komitmen menyerap lulusan sekolah vokasi oleh industri.
Paket link and match dirancang sampai mengembangkan
teaching factory menjadi teaching industry dan masuk ke
dalam kurikulum pembelajaran di lembaga pendidikan.
M. Kebutuhan Lulusan Vokasi
Indonesia masih kekurangan pekerja terampil. Saat ini,
sebagian besar tenaga kerja masih didominasi oleh mereka yang
berpendidikan rendah. Temuan itu tercatat pada data Badan
Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020. Dari 131,03 juta total
pekerja di Indonesia, 38,9 persen di antaranya adalah lulusan
sekolah dasar (SD). Selanjutnya, lulusan sekolah menengah pertama
(SMP) 17,93 persen, lalu disusul sekolah menengah atas (SMA) 18,34
persen dan sekolah menengah kejuruan (SMK) 11,82 persen.
Pekerja dengan pendidikan tinggi hanya 13,02 persen. Rinciannya,
110