Page 26 - E-Modul Perjuangan Integrasi Timor-Timur 1975-Rekonsiliasi
P. 26
22
BAB 4
Rekonsiliasi Indonesia-Timor Leste
Tanggal 30 Agustus 1999 proses referendum rakyat Timor-Timur dilaksanakan, dengan 2 pilihan
yakni menerima otonomi khusus untuk Timor Timur atau menolak otonomi khusus dan merdeka.
Hasilnya 4 September 1999, 78.5% rakyat Timor Timur menolak otonomi khusus. Namun setelah
referendum berlangsung, kekerasan terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta membuat Indonesia
dikecam oleh dunia. Sehingga, pada 19 Oktober 1999 sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Indonesia memutuskan Timor-Timur bukan lagi wilayah Indonesia. Pada masa transisi setelah
referendum hingga menuju kemerdekaan di Timor-Timur pemerintahan sementara dipegang oleh PBB
melalui UNAMET. Pada 20 Mei 2002 Timor Leste resmi diakui secara Internasional sebagai negara
merdeka. Seremoni kemerdekaan ini dihadiri Presiden Megawati yang menandai mulai membaiknya
hubungan Indonesia dengan Timor Leste (Pinto, 2015). Setelah Timor Leste merdeka Rekonsiliasi
Indonesia-Timor Leste secara resmi pertama kali dilaksanakan tahun 2002 melalui program UNHCR
(Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB ). Awal dari program Rekonsiliasi UNHCR adalah
membantu mempertemukan pegungsi di Timor Barat (Indonesia) dengan keluarganya di Timor Leste
melalui perbatasan, sehingga mulai terjalinnya Rekonsiliasi kedua negara melalui perbatasan.
Pengungsi yang berada di Timor Barat adalah korban dari konflik yang terjadi setelah referendum 1999,
sehingga mereka melarikan diri atau mengungsi di Timor Barat, rata-rata pengungsi yang berada di
Timor Barat adalah masyarakat Pro Otonomi yang ingin tetap berintegrasi dengan Indonesia namun
kalah dalam referendum.
Pertemuan rekonsiliasi adalah program yang diikuti oleh paling banyak peserta karena memang
tujuannya untuk mempertemukan komunitas-komunitas yang terpecah. Acara ini bisa diusulkan dari
dua belah pihak baik dari Timor Leste atau dari Timor Barat (Indonesia). Biasanya mereka mengajukan
daftar nama peserta dan daftar nama orang yang diminta untuk datang. Daftar ini akan diperiksa kembali
oleh UNHCR, mereka yang akan menghubungi komunitas di Timor Leste. Sedangkan untuk komunitas
di NTT dihubungi oleh JRS (Jesuit Refugee Service) dan Satlak. Mereka akan bertemu di Salele, daerah
perbatasan di Timor Leste selama kurang lebih 6 jam dan dijaga oleh UNPKF, UNMO, Polisi. Melalui
pertemuan ini diharapkan mereka mendapatkan kejelasan informasi sehingga mereka dapat
memutuskan untuk pulang kembali ke Timor Leste atau tidak (Sindhunata, 2003).
Tiga tahun setelah itu, pada tahun 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mengunjungi Timor Leste untuk melakukan konsolidasi hubungan Timor Leste dan Indonesia. Bahkan
dalam kutipan pidatonya, dia menyebut “Di hati bangsa kami, bangsa Timor Leste adalah saudara yang
sangat dekat. Kita adalah dua bangsa dan dua negara yang bertetangga dan berbatasan”. Jika dipahami
lebih jauh, pernyataan Presiden SBY di hadapan Parlemen Nasional Timor Leste pada waktu itu
menunjukan bahwa hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste yang konstruktif juga akan sangat
ditentukan oleh kondisi sejauh mana pendekatan soft power dapat dimanfaatkan dalam opsi kerja sama
kedua negara, dibandingkan pendekatan hard power yakni pola kekerasan atau militer (TNI) (Pinto,
2015).
Dari semua kunjungan Pemerintah Indonesia, kunjungan Presiden SBY dianggap lebih spesial
karena dia memiliki hubungan yang baik dengan Xanana Gusmao dan juga pernah bertugas sebagai
Komandan Batalyon Infantri (Yonif) 744 di Dili, sehingga banyak masyarakat setempat yang
menantikan kedatangan SBY. Pada September 2008 Perdana Menteri Xanana dan rombongan juga