Page 19 - Falsafah
P. 19
www.flipbuilder.com ©®
www.flipbuilder.com ©®
mewujudkan hal itu. Menurutnya, mandegnya ‘Wajar 12 tahun’ akibat tidak
adanya payung hukum yang dapat mendorong untuk mewujudkannya.
Seharusnya, UU Sisdiknas harus diamandemen khususnya pasal terkait
wajar sembilan tahun diubah menjadi 12 tahun. Atau, bisa juga didorong
melalui Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan wajib
12 tahun di provinsi.
Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami
kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA.
Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi
kini mereka resah karena banyak provinsi (selain Propinsi DKI Jakarta) yang
memperbolehkan sekolah untuk menarik iuran dan SPP untuk menutupi
kekurangan anggaran untuk pendidikan.
Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi
dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan
penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Desember
2016), terdapat 78 persen guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah,
setuju jika pemerintah berdasarkan syariat Islam dan 77 persen guru PAI
mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam. hal
itu merupakan cara pandang yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. Hal ini
jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang radikal
akan tumbuh subur di sekolah.
Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan
pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak
dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, kini perannya
termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Maka,
tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan
benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah
tidaklah cukup memadai. Pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara
instan di sekolah. Jadi, sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren
dan madrasah diniyah untuk memberikan pemahaman agama yang
komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi rahmatan lil alamin. Untuk itu,
RUU madrasah dan pesantren harus masuk Prolegnas 2017.
Kelima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat
sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi
impian. Marginal disini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak
yang berkebutuhan khusus. Angka putus sekolah didominasi oleh kedua
kelompok tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena
nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah.
Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga
penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut.
17