Page 9 - Falsafah
P. 9

www.flipbuilder.com ©®
   www.flipbuilder.com ©®

                                               BAGIAN KEDUA

                                                     SASTRA

               Cerpen:



                                                       Abas

                                                Oleh: Suhandi Eses

                   Pahit getir peristiwa yang telah lalu, toh itu adalah sejarah yang mau
               tidak mau harus tetap kita kenang. Karena satu hal yang pasti, akan ada
               yang bisa dijadikan bahan untuk pembelajaran dalam mendewasakan diri.
                   Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah sebuah trilogi
               kehidupan  yang  patut  kita  syukuri.  Sebab  hidup  itu  sendiripun  adalah
               anugerah yang tidak ternilai dari Sang Khalik kepada makhlukNya.
                   Rasa  ikhlas  dengan  tidak  adanya  perasaan  benci  dan  dendam  serta
               menjalani  hidup  ini  dengan  apa  adanya,  akan  menjadikan  diri  kita
               termasuk ke dalam orang-orang yang senantiasa bersyukur.
                   Begitulah  yang  terlintas  dalam  benak  Abas,  atas  apa  yang  pernah
               terjadi  pada  suatu  masa  dalam  kehidupannya.  Dimana,  dirinya  pernah
               disakiti  oleh  teman  sendiri.  Teman  yang  ia  hargai  setinggi  langit.  Teman
               yang senantiasa ia syukuri keberadaannya disamping dirinya. Tapi, apalah
               dayanya,  ternyata  sifat  manusia  tidak  ada  yang  abadi.  Apalagi  jikalau
               sudah dirasuki oleh keserakahan dan kekuasaan. Teman seiring pun akan
               ditikamnya dari belakang.
                   Seperti  yang  pernah  Abas  alami  sendiri  dalam  sebuah  fase
               kehidupannya, dan hingga sekarangpun masih terang dalam ingatannya.
                   Ketika itu pada suatu hari.
                   “Abas, tampaknya kita harus berpisah. Sebab akan kudirikan yayasan
               atas  namaku  sendiri.  Kamu  dan  beberapa  teman,  pindah  ke  tempat  lain
               saja sebab sekolah ini aku bangun dengan hartaku sendiri. Maka, kuberi
               kau waktu dua hari dari sekarang untuk pindah.”
                   Begitulah,  seperti  benda  tajam  menikam  Abas  dari  belakang.  Atau
               seperti  suara  gelegar  petir  di  siang  bolong  menyambar  bumi  dan
               menghanguskan hati.
                   “Tapi  Tama,  bukankah  kita  telah  sepakat  berada  di  dalam  sebuah
               yayasan yang telah kita bangun bersama?”
                   Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban, hanya tindakan yang tidak
               masuk akal saja sebagai buktinya.
                   “Baiklah  Tama,  jika  itu  maumu.  Aku  akan  pindah  besok.  Dan  akan
               kulegalkan lagi yayasanku ini di hadapan notaris.”
                                                                                                       7
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14