Page 33 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 33
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
dengan kambing, kerbau, dan babi, meski yang terakhir sulit diperoleh
karena Raja telah menerima hukum Muhammad empat tahun lalu . . ..
Para lelaki biasanya memakai satu, dua butir, atau lebih bola-bola pada
penis mereka dengan ukuran yang sama seperti yang digunakan pria
Siam, tetapi tidak berlubang atau berbunyi di tengahnya, melainkan
terbuat dari gading atau tulang ikan yang keras, yang sekarang juga makin
berkurang di kalangan mereka karena peralihan agama; ketika masih
kafir, kaum perempuan mereka memotong rambut dengan semacam
sisir, tetapi sekarang rambut mereka dibiarkan panjang dan digulung
seperti kebiasaan perempuan Melayu; budak-budak perempuan yang
sering terlihat memikul air di punggung membiarkan bagian atas tubuh
dengan payudara telanjang sepenuhnya dan mengenakan celana panjang
sampai ke ujung pusar. Waktu mandi mereka telanjang bulat, baik laki-
laki maupun perempuan, sesuatu yang tidak pernah saya lihat di tempat
lain di Hindia ini (Reid 2004: 34).
Ketika agama Islam tersebar di kalangan bangsawan dan rakyat sekitar 1605,
laporan-laporan tentang masyarakat Sulawesi Selatan mengalami perubahan.
Pakaian perempuan dan laki-laki mulai tertutup mengikuti pakaian orang Melayu
pada umumnya. Seorang pengunjung bangsa Eropa melaporkan ketika tiba di
Makassar setelah Islam menjadi agama kerajaan bahwa
. . . di sana (Makassar) . . . tidak ada lagi babi karena pribumi yang
sudah masuk Islam telah menyapu bersih seluruh babi dari negeri ini . .
.. Tubuh kaum perempuan tertutup seluruhnya dari kepala hingga kaki
sedemikian rupa sehingga wajah mereka pun tak terlihat (Reid 2004).
Setelah Islam diterima sebagai agama kerajaan, maka sara’ atau syariat Islam
menjadi bagian integral dari pranata sosial budaya orang Makassar dan Bugis,
selain pegangan mereka selama ini yaitu adat, pangadakkang (Makassar) atau
pangadêrrêng. Sara’ bersama pangadakkang memberikan tuntunan dalam menata
tingkah laku kehidupan sosial-budaya. Ketaatan orang Makassar dan Bugis
kepada sara’ sama dengan ketaatan mereka terhadap adat yang mereka yakini.
Karena sifat-sifat penyesuaian, maka penerimaan sara’ ke dalam pangadakkang
menjadi sarana utama berlangsungnya proses sosialisasi dan enkulturasi Islam
dalam kebudayaan orang Makassar dan Bugis. Proses ini berlangsung intensif
sehingga mereka mengidentikkan diri dengan Islam. Apabila di antara mereka
ada yang bukan Islam maka dianggap menyalahi pangadakkang dan diperlakukan
sebagai orang asing di lingkungannya.
17