Page 94 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 94
Sejumlah pegawai Zending, seperti van Hoevell (van
Hoevell, 1882) pemah mencoba mencatat beberapa kapata yang
sempat mereka dengar. Demikian pun Perpustakaan Nasional
di Jakarta menyimpan beberapa catatan mengenai kapata.
(Katalog, 1980).
Namun hingga kini rupanya berbagai peristiwa di masa lalu
masih tercatat dalam tradisi lisan dalam bentuk kapata dan
lania. Berikut ini akan dikemukakan dua buah syair seperti
yang dicatat oleh Dra. H. Maryam Lestaluhu (1988). Kapata-
kapata ini menyangkut peristiwa di abad ke-17 yang termasuk
dalam apa yang dinamakan Perang Ambon tersebut di atas.
Apakah bentuk aslinya di abad-abad yang lalu sama dengan
yang dicatat sekarang memang tidak bisa dipastikan.
Pentingnya kutipan-kutipan ini hanyalah untuk menunjukkan,
bahwa penduduk Maluku Tengah memiliki semacam kesadaran
sejarah yang terwujud dalam kapata.
Kutipan pertama adalah sebuah kapata yang menceritakan
sebuah episode dalam Perang Wawani (1633-1643), khususnya
yang menyangkut serangan voe atas perbentengan Hitu di
Gunung Kapahaha (kini nama Kapahaha diabadikan sebagai
nama Makam Pahlawan di Ambon). (Rumphius, loc.cit, 1910;
Knaap, 1992). Kapata ini menggunakan bahasa Morela di Hitu,
dan dicatat pada tahun 1978 dalam sebuah penelitian di
Kapahaha. (Lestaluhu, 1988: 176, 178).
Kapalau kanama haita sawatelu,
Kota nyiwele sele
Kompanyia si kolo ia sialeha Kapahaha,
Kolo lete Kapahaha nala hulane siwa
Hiti maeneha Iowa sue lainuli,
Lihi julata syanaki loloosi
Lisa e makana tapane lauhaha,
Lisa e makana sawatelu lauhaha
Lisa e makana Nandaluhu lauhaha,
Kutu kaite jouw tumbanbessy
Hulu eliyate pory
Yata pory eituru nusu meita
Turu nusu meita lia nandaluhu
Yane sula eya, sula eya pela
78