Page 90 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 90
pertengahan abad ke-17. Mengenai hal ini akan dikemukakan
dalam bagian akh1r bab inl.
Lenyapnya lembaga saniri Waele Telu dan kakehan
terutama disebabkan karena sistem budaya tersebut tidak
didukung oleh suatu sistem politik yang kuat. Kekuasaan
Belanda yang menjalar ke pulau Seram sejak abad ke-17,
akhimya berhasil mematahkan institusi yang semata-mata
berdasarkan lembaga ritual itu saja dan tidak dilengkapi
dengan aparat pemerintahan seperti administrasi dan tentara
yang tetap. (Manuhutu, 1985).
Sekalipun proses perkembangan sosial di Maluku Tengah
tidak melahirkan sistem politik yang dinamakan kerajaan atau
kesultanan seperti halnya di Maluku Utara, namun tidak berarti
bahwa hal itu samasekali tidak pemah terjadi di masa lalu.
Proses itu pemah muncul sejak paling kurang abad ke-15 di
jazirah Hitu (pulau Ambon) yang penduduknya beragama
Islam. Khususnya negeri Hitu pemah memperlihatkan dengan
jelas adanya proses itu. Hal ini terutama berkaitan dengan
kenyataan, bahwa negeri Hitu merupakan salah satu
mata-rantai dalam pelayaran-niaga di Nusantara yang
menghubungkan daerah-daerah cengkeh di Maluku Utara dan
pulau Jawa.
Sistem politik di Hitu tersebut memiliki pola dasar yang
sama dengan di Maluku Utara, yaitu pembagian dalam empat
bagian. Negeri Hitu menjadi pusat kekuasaan dengan empat
penguasa yang disebut Perdana, masing-masing dari satu garis
keturunan yang menjadi cikal-bakal dari negeri Hitu. Keempat
Perdana tersebut adalah Tanahitumeseng, Nustapi, Totohatu,
dan Pati Tuban. Di antara empat perdana tersebut salah
satunya, yaitu Tanahitumeseng, merupakan primus interparis
yang sering juga oleh orang-orang Barat dinamakan Raja Hitu.
(Manusama, 1977). Unsur kelima (Raja Hitu) merupakan
pemersatu yang mewujudkan keutuhan masyarakat atau
soasiwa, seperti yang terdapat pula di Tidore. (Leirissa, 1996).
Sistem pemerintahan ini mengingatkan kita pada apa yang
dinamakan sistem federasi yang menurut Reid sangat umum
74