Page 114 - Kumpulan Cerita Rakyat Pamona, Sebuah Intepretasi Baru
P. 114
*
“Akhirnya dia bangun, Pak,” kata seseorang entah siapa.
Perlahan aku merengkuh kesadaranku, kelopak mataku
membuka, menyambut sosok sejumlah teman sekolah dan
Pak Hafied yang berkumpul mengelilingiku.
“Kamu tertidur pulas, sepertinya sempat pingsan, dan
kami jadi cemas,” kata Pak Hafied.
“Tadi sedikit pusing, Pak, minta maaf sudah membuat
semuanya cemas,” kataku.
“Ayo kita sudah harus bersiap-siap pulang ke Palu,
semuanya bergegas masuk ke bus,” perintah Pak Hafied.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Rudi salah satu teman
sekelasku.
“Kamu tidak akan percaya kalau aku ceritakan apa yang
terjadi tadi,” jawabku dengan antusias saat ia
membantuku bangkit berdiri.
“Kita punya banyak waktu di perjalanan untuk itu,
ceritakan semua yang kamu ingat,” kata Rudi.
Aku tersenyum melihat Rudi dan teman-teman sekolahku
yang kini berjalan bergegas menuju ke bus wisata yang
mengantar kami ke tempat ini. Tiba-tiba aku mendengar
suara kicauan burung yang aneh dari atas pepohonan yang
menjulang di dekatku. Sekilas aku melihat Lelengkaa
terbang melintasi dahan pepohonan, menyapaku,
mungkin sekaligus mengucap selamat jalan. Yang pasti,
aku akan pulang dan menulis cerita pengalamanku tadi,
110