Page 112 - Kumpulan Cerita Rakyat Pamona, Sebuah Intepretasi Baru
P. 112
besar dengan akarnya yang menjalar kemana-mana, tepat
di sampingnya ada sebuah pohon kersen. Sepertinya tidak
asing bagiku.
“Yambo 142 ,” tegur suara itu. Aku menoleh ke arah guratan
garis membentuk wajah pada batang pohon besar dengan
sulurnya yang melambai ke arahku.
“Jangan takut,” bisik Lelengkaa. Aku memberanikan
diriku berdiri tegak menghadapinya.
“Yambomo da kumpato’o 143 , ri rayamu nakanoto 144 ,” kata
Puloru.
“Dia menyuruh kamu mendekat dan menyimak
perkataannya,” kata Lelengkaa. Salah satu sulurnya
menyentuh keningku.
“Ma'eri-eri tau tu'a 145 , Ma'eri-eri kasitau 146 , Ma'eri-eri
dunia 147 , Moundi ri pue mpalaburu 148 . Ndatotonanda
kapandemu 149 , ewa awili anu madogo 150 , be posa-posa 151 .
Be uta-uta awili setu rata salapi, rata salapi 152 ,” kata
142 Datanglah
143 Marilah akan saya katakan,
144 Supaya jelas untuk kamu
145 Menyayangi dan menghormati orang tua
146 Menyayangi dan menghormati sesama manusia
147 Menyayangi dan menghormati bumi/dunia
148 Mengembalikan diri ke Tuhan Pencipta semesta alam
149 dikenang terus kebaikanmu
150 Seperti nasihat atau petuah yang baik
151 Tidak pernah akan hilang
152 tidak pernah akan dilupakan petuah itu dari generasi ke generasi
108