Page 32 - BUKU DASAR-DASAR PENGAMANAN HUTAN_Neat
P. 32
Dasar-Dasar Pengamanan Hutan 19
dilakukan karena Pasal 1 Ayat (1) KUHP memuat asas legalitas. Banyak
pakar sepakat bahwa di dalam sistem hukum pidana Indonesia,
penerapan ajaran melawan hukum materiel ini dalam fungsi yang
negatif, yaitu dalam hal pertanggungjawaban pidana. Seseorang bisa
saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila perbuatannya tidak
melawan hukum secara materiel. Dengan kata lain, fungsi negatif
dari ajaran melawan hukum materiel ini digunakan sebagai alasan
pembenar.
Sementara itu, tindak pidana kehutanan, menurut Permenhut No.
P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana
Kehutanan, adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai
kejahatan atau pelanggaran, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
di Bidang Kehutanan dan Konservasi Hayati. Perbuatan yang dilarang dan
diancam tersebut terdapat pada:
1) Pasal 40 Jo Pasal 19, 21 dan 33, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2) Pasal 78 Jo Pasal 50, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
3) Pasal 82 s.d. 109, Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
B. Modus Operandi
Modus operandi adalah cara pelaku menjalankan tindak pidana. Modus
operandi tindak pidana kehutanan, bila secara umum dikaitkan dengan
unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke
dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Perusakan (Pasal 406–412)
Unsur perusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging
berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem
pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan
pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi
hutan. Illegal logging pada hakikatnya merupakan kegiatan yang
menyalahi ketentuan perizinan yang ada, baik yang tidak memiliki izin
secara resmi, maupun yang memiliki izin, namun melanggar ketentuan
yang ada dalam perizinan itu, seperti over atau penebangan di luar area
konsesi yang dimiliki.