Page 116 - ETPEM2016
P. 116

i)  Gapitan  (sedia  berkorban).  Maksudnya,  tidak  segan

                         untuk  memberikan  apapun  yang  ada  pada  dirinya
                         apabila  dibutuhkan  orang  lain  atau  demi  membela
                         keyakinannya.
                      j)  Karawaleya (dermawan). Maksudnya, senang memberi
                         kepada  orang  lain  dalam  keadaan  lapang  atau  sempit,
                         baik tenaganya, pikirannya, atau hartanya.
                      k)  Cangcingan  (trengginas).  Maksudnya,  tidak  lamban
                         dalam  berbuat,  tidak  menunda-nunda  pekerjaan  atau
                         cekatan dalam mengerjakan sesuatu yang dinilai penting.
                      l)  Langsitan  (terampil,  banyak  kepandaian).  Maksudnya,

                         pandai  (mahir)  melakukan  sesuatu  atau  punya
                         kemampuan yang besar untuk mengerjakan banyak hal.
                     Keempat, etika dari Carita Parahiyangan.
                     Carita  Parahiyangan  adalah  naskah  yang  ditulis  dengan
               aksara dan bahasa Sunda Kuna yang berisi sejarah kerajaan Sunda
               dan Galuh sejak berdiri sampai kehancurannya (Ekadjati, 2009:97).
               Menurut Nina Lubis (2003:47), naskah ini ditulis pada th. 1580 M.
               Dari naskah itu diketahui bahwa di tanah Sunda, pada saat kerajaan

               Tarumanagara  melemah  (abad  ke-7  M),  Prabu  Tarusbawa
               mendirikan  kerajaan  Sunda  di  Pakwan  (Bogor)  dan  Prabu
               Wretikandayun  mendirikan  kerajaan  Galuh  di  Bojong  Galuh
               (Kawali-Ciamis).  Kedua  wilayahnya  dibatasi  Sungai  Citarum.
               Wilayah  Galuh,  dari  Citarum  ke  Timur,  dan  wilayah  Sunda,  dari
               Citarum  ke  Barat.  Kedua  kerajaan  tersebut  berhubungan  erat
               karena ikatan hubungan keluarga. Kadang-kadang kedua kerajaan
               itu dipimpin seorang raja (Sanjaya, Niskala Wastukancana, dan Sri
               Baduga  Maharaja).  Setelah  Sri  Baduga  Maharaja  wafat  1521  M,

                                                                             100
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121