Page 117 - Toponim Magelang
P. 117

Toponim Kota Magelang    105











                     itu disyukuri oleh masyarakat Magelang sebagai anugerah Tuhan, karena diselamatkan
                     dari bencana kekeringan. Bahkan, timbul pemahaman klasik bahwa air bukan unsur
                     sembarangan dalam hidup.

                     Air yang mudal ini menggiring pada kesadaran diri bahwa begitu sakral masyarakat Jawa
                     klasik memandang air sehingga melahirkan istilah banyu panguripan. Sementara dalam
                     dunia Barat, air disebut fons vitae (sumber hidup), dan penduduk Yunani menyebut
                     nectar (minuman para dewa). Demi membuktikan vitalnya  banyu panguripan dalam
                     jagad Jawa, bisa diendus dari aneka istilah yang ada. Semisal, tirta, tirta kamandalu, tirta
                     nirmala, toya pawira, toya marta, banyu mahapawitra, dan banyu bening pawitra sari.


                     Masyarakat Magelang yang hobi menikmati pertunjukan wayang tentunya pernah
                     mendengar sang dalang bilang dalam janturan jejer: ”...lenggak-lenggok lampahing toya
                     ingkang mijil saking sendang-sendang wening, tirtane pinara-para playune tinampi wadhuk
                     binendung-nendung kinarya angileni  sawah myang pategalaning narakisma.” Terjemahan
                     bebasnya: “...berkelok-kelok air  mengalir  keluar  dari mata  air  yang  jernih, airnya
                     dibagi-bagi dimasukkan ke waduk-waduk untuk digunakan mengairi sawah dan ladang
                     para petani.”

                     Filolog termasyur yang dimiliki bangsa Indonesia, Poerbatjaraka (1940), ikut memberi
                     perhatian terhadap pengetahuan lokal mengenai air sebagai “air penghidupan” yang
                     termahtub dalam cerita Samudra Manthana. Dan, lumayan akrab di kuping orang-orang
                     sepuh di telatah Jawa. Dikisahkan, suatu ketika para dewa bersama para daitya berupaya
                     mencari tirta amrta (air penghidupan) dengan cara mengaduk lautan susu (ksirarnawa)
                     yang dalam.


                     Peneliti budaya Jawa,  Woro  Aryandini (2002) mengutip Buku Nawaruci,
                     menginformasikan perjuangan Bima mencari air penghidupan alias tirtha kamandalu,
                     banu mahapawitra, atau sang hyang amrtnjiwani. Dalam Manikmaya disebut toyadi marta
                     hyan kamandalu, yaitu air yang diminum para dewa sehingga dijauhi kematian. Sekali
                     lagi, toponim Kampung Mudal bukan hanya membuktikan melimpahnya sumber daya
                     air yang besar tak pernah berhenti (mudal-mudal) di Magelang, namun juga membawa
                     pesan bagi manusia dalam memperlakukan air sebagai anugerah Tuhan tak terperi. 68


                     Sejarah, FIB: UGM Yogyakarta, 2014).
                     68  Baca Woro Aryandini. Wayang dan Lingkungan. (Jakarta: Penerbit UI, 2002).
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122