Page 193 - Toponim Magelang
P. 193

Toponim Kota Magelang    181











                     pagar saban Sadranan itu berhenti.  Banyak warga Kampung Dudan memanfaatkan
                                                   135
                     acara Sadranan Mbah Kyai Duda sebagai momen mudik atau pulang kampung. Bahkan,
                     kondisi kampung saat Sadranan lebih ramai ketimbang saat Lebaran tiba.

                     Dalam tradisi pedesaan Jawa, terdapat fenomena patron clien atau paran poro yang
                     menjadi rujukan bagi warga dalam  mengambil keputusan dan bertindak. Warga
                     bertindak secara kolektif ada kalanya tidak melalui rembug desa atau tergantung pada
                     kepemimpinan formal yang dibentuk oleh kerajaan atau birokrasi kolonial, melainkan
                     tokoh informal. Demikian pula dalam  fakta sejarah Kyai Duda yang menyiratkan
                     semangat spiritual masyarakat pedesaan Magelang yang sangat kental dibungkus oleh
                     nilai-nilai  kosmogoni lokal. Selain tokoh Kyai Duda, di kampung ini terdapat tiga
                     sesepuh yang diyakini sebagai kakek moyang, yakni Mbah Simo, Mbah Soleham, dan
                     Mbah Tulus.  Kendati ketiga sesepuh ini dipercaya sebagai leluhur Kampung Dudan,
                               136
                     namun tidak ditemukan tiga makam tokoh tersebut, hanya cukup dirawat dalam ingatan
                     kolektif masyakarat.


                     Orang Jawa sering menyebut sebagai tradisi nguri-uri naluri leluhur. Kepemimpinan
                     nonformal desa seperti dukun atau orang yang dituakan di desa, biasanya difungsikan
                     oleh masyarakat desa sebagai pusat rujukan (paran poro) untuk mengatasi permasalahan
                     yang  muncul dalam  wacana  disharmoOrang  Jawa  sering menyebut sebagai tradisi
                     nguri-uri naluri leluhur. Kepemimpinan  nonformal  desa seperti dukun  atau  orang
                     yang dituakan di desa, biasanya difungsikan oleh masyarakat desa sebagai pusat rujukan
                     (paran poro) untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam wacana disharmoni
                     warganya. Misalnya, muncul masalah  perkawinan, khitanan, mendirikan rumah,
                     kelahiran, kematian, dan masalah yang dipercaya sebagai pageblug atau lampor. 137

                     Fenomena budaya demokrasi desa dalam dimensi sejarah hampir tidak tersentuh oleh
                     pengaruh primordialisme feodal maupun kolonial, karena keberadaan mereka terisolasi
                     oleh tradisi besar feodalisme keraton dan kolonialisme Belanda. Isolasi fungsional bagi
                     kantung-kantung bumi perdikan desa di era kerajaan adalah munculnya peran kyai,
                     dukun, atau perbekelan yang menjadi fasilitator kepentingan raja dan kaum bangsawan


                     135  Wawancara dengan Bapak Man, (3 Maret 2018. Jam 15.15 sd 16.02).

                     136  Wawancara dengan Bapak Priyatno, (3 Maret 2018. Jam 14.40 sd 15.03)
                     137  Soedarmono. “Budaya Demokrasi di Desa”, dalam Kompas, 3 Agustus 2002.
   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198