Page 66 - Toponim Magelang
P. 66

54         Toponim Kota Magelang












                                Kelurahan Kedungsari


                                1. Sidotopo


                                Dalam  panggung  sejarah  tatakota  Magelang  era  kolonial, tercatat nama  Kampung
                                Sidotopo. Hanya saja, tak banyak tersedia sumber tertulis atau lisan yang menyebutkan
                                riwayat kampung tersebut. Kendati demikian, aspek kesejarahan Kampung Sidotopo
                                dapat ditinjau dari pendekatan sejarah religi manusia Jawa klasik yang gemar bertapa atau
                                melakukan tapa brata demi meraih ketenangan dan kesempurnaan hidup. Pendekatan
                                ini diperkuat pula dengan fakta sosial bahwa beberapa kampung di Magelang zaman
                                dulu ditinggali atau mempunyai tokoh spiritual yang menjadi paran poro atau rujukan
                                masyarakat. Dalam meladeni kepentingan masyarakat, tokoh spiritual tersebut acap
                                menjalankan laku, baik bertapa maupun puasa sebagai lambaran bekerja.

                                Kepercayaan Hindu-Buddha yang dulu pernah berkembang di Magelang merupakan
                                sumber –meminjam terminologi antropolog Koentjaraningrat– “agama Jawi”, merekam
                                beberapa bentuk tapa, walau sekarang sukar didapatkan fakta orang melakoni salah
                                                     22
                                satu jenis tapa tersebut.  Sebut saja, tapa ngalong, bertapa dengan cara menggantung
                                terbalik, kedua kaki diikat pada dahan pohon, berpisah dengan tanah. Dalam  epos
                                Ramayana yang digemari orang Jawa, dikisahkan Subali bertapa seperti kelelawar di
                                puncak Gunung Sunyapringga. Buahnya, bumi menghadiahi Subali ajian Pancasona. Ia
                                tak bisa mati selama kakinya menginjakkan tanah.


                                Masih cerita Ramayana, ada tapa nyantuka. Bertapa seperti katak, dikerjakan oleh Retno
                                Anjani di Telaga Sumala. Khayangan dibuat geger, dan para dewa bercucuran air mata.
                                Pasalnya, mereka iba melihat penderitaan perempuan yang tebal rasa prihatinnya itu.
                                Praktek tapa tersebut dinilai terlalu berat lantaran dalam menjalaninya, pelaku tidak
                                makan apa-apa kecuali daun-daun yang kebetulan masuk ke mulut. Juga tidak minum
                                apa-apa kecuali tetes embun yang dijatuhkan dari langit ke lidahnya. Ini melambangkan
                                sikap pasrah seseorang mahluk kepada penciptanya.

                                Selain bertapa, orang Jawa melakukan puasa. Puasa dan tirakat juga beda tipis. Sebelum
                                tanah Jawa terkena proyek Islamisasi dan masyarakat lokal diajarkan cara berpuasa di


                                22  Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71