Page 34 - D:\Kantor ku\5. Stunting\Stunti
P. 34
Menurut WHO 2007, Indonesia adalah rangking 5
jumlah perokok terbesar di dunia setelah China, Amerika
Serikat, Rusia dan Jepang. Satu tahun kemudian, peringkat
ini naik menjadi 3 besar, yaitu setelah China dan India
(WHO, 2008). Lebih ironis lagi jumlah perokok usia muda di
Indonesia terus meningkat, yakni 17,3% (tahun 2007), 18,6%
(tahun 2010), dan 19,7% (pada tahun 2013). Rata-rata jumlah
rokok yang dihabiskan per hari mencapai 12,3 batang per
hari (Riskesdas, 2013). Tobacco Atlas pada 2015
menyebutkan bahwa Indonesia adalah peringkat satu dunia
untuk jumlah pria perokok di atas usia 15 tahun. Jika di
negara lain jumlah perokok terus turun, maka jumlah
perokok aktif di Indonesia diyakini akan meningkat menjadi
90 juta orang pada 2025 (WHO, 2016). Sementara jumlah
perokok pasif di Indonesia sebanyak 94 juta jiwa (36,5%),
dengan proporsi wanita perokok pasif sebesar 54% dan balita
perokok pasif 56% (Pusdatin Kemenkes RI, 2015). Fakta ini
sangat memprihatinkan, sehingga perlu intervensi khusus
untuk melindungi wanita dan anak-anak dari bahaya asap
rokok.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak adalah
kelompok rentan yang terkena dampak buruk akibat rokok.
Pengeluaran untuk membeli rokok mengalahkan untuk
pembelanjaan makanan dan keperluan penting lainnya,
termasuk untuk keperluan balita (Best, Sun, de pee, et al.,
2007; Semba, Kalm, de pee, 2008). Anak-anak yang memiliki
orangtua yang merokok memiliki kadar kotinin 5,5 kali lebih
banyak daripada anak-anak dari orang tua yang tidak
merokok. Jika dibandingkan dengan anak yang orangtuanya
bukan perokok, risiko akibat paparan asap rokok pada anak
dengan ayah perokok mencapai 3 kali lipat, dan lebih dari 6
kali lipat jika ibu yang merokok. Jika keduanya merokok,
kadar kotininnya menjadi hampir 9 kali lipat.
Tri Siswati, SKM, M.Kes. 29