Page 23 - Perempuan Dalam Gerakan Kebangsaan
P. 23
Dra. Triana Wulandari, M.SI., dkk (eds.)
Awal mula perjuangan Kartini, misalnya, menjadi salah satu
bukti perjuangan kaum perempuan di Indonesia yang terkabar hingga
lintas negara dan benua. Kartini prihatin terhadap sikap dan perilaku
para bangsawan Jawa yang terkesan mementingkan diri sendiri, yang
senantiasa ingin mendapatkan yang terbaik bagi dirinya, sedang yang
buruk bagi yang lainnya. (Surat Kartini kepada E.H. Zeehandelaar,
1899).
Feodal Jawa berdampak buruk pada sikap kalangan atas Jawa,
yaitu arogansi berlebihan. (Pramoedya 2003:126). Padahal,
tatakrama tradisi Jawa memiliki istilah tepa sarira atau tanggap rasa,
yang artinya mampu merasakan yang dirasakan orang lain.
Perenungan reflektif etis Kartini yang didasari oleh kepedulian
dan keprihatinan terhadap ketidakadilan yang berlangsung di depan
matanya, menyebabkan ia memahami pengertian istilah adel
(bangsawan) dan edel (budi luhur). (Surat kepada E.B. Zeehandelaar,
1900) “Dua hal yang berbeda,” serunya. Maksudnya adalah, tidak
selalu seorang adel itu edel.
Perilaku Belanda yang memaksakan diri agar diberi
penghormatan berlebihan oleh pegawai Bumiputra (Jawa) dengan
menggunakan adat tradisi leluhur nenek moyang mereka seperti yang
terjadi di Cilegon dan Tegal (Pramoedya 2003: 108), membuktikan
ucapan Kartini. Hal lain yang menunjukkan kerendahan budi
kalangan Pemerintah Hindia Belanda, ialah ketika ada larangan bagi
orang Jawa menggunakan bahasa Belanda dalam berkomunikasi
dengan mereka. Bangsawan Bumiputra acapkali menggunakan
bahasa Kromo Hinggil dan dijawab oleh Belanda cukup dengan bahasa
Melayu Pasar (Pramoedya 2003: 11 0).
Karena terpasung oleh budaya Feodal Jawa yang “menyesakkan
nafas” itu, lamunan Kartini menerawang jauh ke masa lampau. Ia
bertanya, di manakah ajaran tradisi Jawa yang bermuatan nilai
keluhuran itu? Ia lalu paham, mengapa rakyat Jawa senang
ix
xxiii