Page 24 - Perempuan Dalam Gerakan Kebangsaan
P. 24
Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan
Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan
melagukan tembang syahdu yang berisi kenangan tentang keagungan
Jawa masa lampau, kearifannya, ketinggian budaya serta kelembutan
dan kehalusan seninya.
Terhadap alam Feodal Jawa yang sungguh-sungguh patriarkis
itu, Kartini menyatakan ‘perang’, karena di dalamnya terdapat unsur
poligami yang sangat ditentangnya. Ia menginginkan ‘dunia baru’
yang lebih menjanjikan bagi kedamaian Jiwa. Jiwa yang tidak
mengenal warna kulit, jenis kelamin dan status dalam masyarakat,
sebagaimana kutipan Kartini pada istilah Dilthey: idealisme objektif
dan keharmonisan universal. Vox populi vox dei atau suara rakyat
adalah suara Tuhan (Peter Kunzmann et al., Sesam Atlas Van De
Filosofi, Amsterdam, 1996, hal. 180-81 1979:337).
Ini menandakan bahwa Kartini juga memahami bahwa pengabdian
kepada rakyat identik dengan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Dengan demikian tanggungjawab pemimpin bersifat dualistik,
yakni dari ‘atas’ dan ke ‘bawah’ berada di atas bahunya, yaitu
mengemban Amanat Penderitaan Rakyat. (Pramoedya 2003:141).
Kecintaan Kartini bersaudara kepada rakyatnya menggugah
serta membangkitkan kesadaran ‘berbangsa’ pada diri mereka
(Sitisoemandari 1986:108; Pramoedya 2003:113) Sebagai Ksatria,
Kartini bersaudara memperjuangkan serta membela hak-hak azasi
rakyat (Pramudya 2003:113) mengayomi dan menjaga kehormatan
serta harkat martabat mereka.
Sebagai Brahmana, Kartini bersaudara berkontribusi dalam
menebarkan nilai-nilai kemuliaan dan keluhuran manusia. Kartini
prihatin melihat timbulnya gejala pembaratan artifisial yang tidak
disertai kemajuan dalam pola pikir, berilmu pengetahuan serta
penguasan berbahasa Belanda. Satu di antara lima priyayi yang telah
berasimilasi dengan budaya Eropa mengalami perubahan perilaku.
(Pramoedya 2003: 131).
x
xxiv