Page 78 - Perempuan Dalam Gerakan Kebangsaan
P. 78

Perempuan  dalam  Gerakan Kebangsaan
                                        Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan

                  miles of concrete highway. We pay for a single fighter plane with a half
                  million bushels of wheat. We pay for a single destroyer with a new homes
                  that could have housed more than 8.000 people.


                      This is not a way of life at all, in any true sense. Under the cloud of
                  threatening war, it is humanity hanging from a cross of iron. Is there no
                  other way the world may live?
                   Sungguh tepatlah apabila para ahli memikirkan tentang Etika
               Profesional. Ketika Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan
               suatu diskusi panel mengenal hal itu, dalam salah satu dialognya
               terdapat pertanyaan, “Kita ini makin ethis atau tidak?”   E. Yohannes
               menjawab: Dari gelombang I ke gelombang II, kita makin tidak etis;
               mudah-mudahan saat-saat sekarang ini, kita makin ethis” (Damardjati
               Supadjar, 1993). Dialog semacam itu tentu saja masih dapat
               dilanjutkan, misalnya: Pembangunan yang terlalu memusat di Jawa
               itu ethis atau tidak? Dilihat dari pelimbahan populasi: ethis; dilihat
               dari Etika Lingkungan Hidup: masih dapat ditinjau kembali; dan lain-
               lainnya; dan lain sebagainya. Kesemuanya itu mengingatkan kita
               kepada pesan lama pada buku lama, karya Pujangga Jawa:

                   Jagra angkara winangun,
                   Sudira marjayeng westhi,

                   Puwara kasub kuwasa,

                   Sastraning jre Weddha muni:
                   Sura dira jayaningrat,

                   Lebur dening Pangastuti.

                   Tiga baris pertama dari syair tersebut, yang juga mengacu pada
               baris ke-5, benar-benar senada dengan keluhan Eisenhower: This is
               not a way of life at all, in any true sense. Sementara itu baris
               penutupnya menyebutkan  way  of  life yang dipujikan, yaitu
               “Pangastuti”. Bahwa kata-kata, “Sura dira jayaningrat, lebur dening
               Pangastuti” membuktikan bobot kualitatif kandungan isinya,


                                             46
                                             46
   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83