Page 169 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 169
(9) wajib membimbing dalam hal akhlak, (10) harus memperhatikan aspek psikologis
bawahan. Bawahan juga harus: (a) mengusahakan kedudukan yang selaras dengan
sebelumnya, (b) jangan membuat sakit hati orang lain, (c) selalu percaya kepada
Tuhan, (d) jangan takabur, (e) waspada, (f) jangan memburu napsu, (g) terus-menerus
mendekat kepada Tuhan, (h) menganut agama dengan baik, (i) segera melaksanakan
pernikahan, untuk menyambung keturunan, (j) dalam hidup berumah tangga nanti,
sebaiknya mmegang etika yang baik.
Falsafah kepemimpinan asih di atas, sebagian besar bisa diterapkan di jaman
sekarang. Antara lain, pemberian penghargaan terhadap bawahan yang benar-benar
menunjukkan prestasi dan memperhatikan kepangkatan bawahan. Hal ini sudah sering
diterapkan dalam praktek kepemimpinan kita, seperti pemberian hadiah: Adipura,
Kalpataru, Satya Lencana, Upakarti, pengangkatan pahlawan nasional, pemberian
hadiah kepada para teladan, dan lain-lain. Namun, mestinya penghargaan tersebut
tidak sekedar iming-iming belaka, yang sifatnya simbolis. Penghargaan juga kurang
mendidik jika hanya didasarkan faktor tertentu, seperti kenalan. Penghargaan yang
dilandasi falsafah asih, mestinya yang mampu menumbuhkembangkan bawahan dan
atasan berkembang secara alamiah/wajar.
Sedangkan falsafah asih pimpinan terhadap generasi muda agar jangan “nggege
mangsa”, jika mampu dilaksanakan akan semakin baik perjalanan pembangunan ini.
Maksudnya, pimpinan (generasi tua) juga tidak akan merasa terusik dalam menduduki
jabatan. Ini akan terwujud jika atasan juga “tahu diri”, bisa tepa rumangsa. Artinya, jika
memang umur serta kemampuan sudah tidak dan atau kurang mendukung, mestinya
jabatan itu juga direlakan kepada generasi muda. Sedikitnya, agar terjadi estafet
kepemimpinan, agar ada warna baru.
Falsafah kepemimpinan asah pria terhadap wanita, dapat diterapkan dalam jaman
sekarang. Hal ini seudah terkandung tentang pesan falsafah kemitrasejajaran. Pria dan
wanita dalam kaitan ini bukanlah subordinasi yang kaku, pria harus menang, harus 'di
atas', dan sebagainya, namun berjalan seiring. Tentu saja tetap memperhatikan kodrat
masing-masing.
Falsafah kepemimpinan asuh seorang raja yang harus bersikap adil, membimbing
bawahan agar jangan meninggalkan jasa para leluhur bisa diterapkan di jaman
sekarang. Misalkan, para pelaku hukum, semestinya bisa menangani permasalahan
dengan ambeg adil paramarta. Maksudnya, tidak ada seorang pun yang 'kebal hukum'
jika memang bersalah dalam suatu negara.
Falsafah pemerataan dengan memperhatikan 'sandhang dan pangan' kiranya
telah banyak ditempuh oleh pemerintah dengan gerakan 'pengentasan kemiskinan, GN-
OTA, bantuan-bantuan kesehatan" dan sebagainya. Hanya saja, yang perlu dicamkan
dalam pelaksanaan adalah agar tidak terjadi penyalahgunaan dana tersebut.
Dari simpulan dan implikaksi demikian disarankan dua hal: (1) hasil penelitian ini
perlu disebarluaskan dan disarasehankan ke dalam skala luas, terutama yang dihadiri
oleh para pimpinan, sehingga dapat dicobaterapkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara; (2) perlu diteliti karya-karya sastra yang sejaman dengan KGPAA
Mangkunagara IV untuk memperoleh tambahan konsep yang selaras dengan falsafah
kepemimpinan 3A.
Akhirnya, masa depan kepemimpinan Jawa memang masih teka-teki. Di era yang
serba bebas dan gaduh ini, sulit menentukan masa depan ini akan seperti apa.