Page 164 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 164

kamukten  (kemuliaan  hidup)  itu  dirangsang  tuna  ginayuh  luput.  Artinya,  jika  belum
               menjadi  takdirnya,  kedudukan  itu  sulit  dikejar.  Dalam  ungkapan  Jawa,  dikemukakan
               bahwa  siji  pati  loro  jodho  lan  telu  tibaning  wahyu,  ihwal  wahyu  ini  sulit  diburu.  Itulah
               sebabnya,  generasi  muda  harus  tahu  diri,  bisa  mawas  diri,  jika  ingin  bercita-cita.
               Mengejar  cita-cita  boleh,  namun  dilarang  mencari  jalan  pintas  yang  tidak  dibenarkan
               oleh aturan.

               D. Kepemimpinan Asah dan Aplikasinya
                     Kepemimpinan asah berhubungan dengan berbagai bidang, yakni: Pertama,  pria
               sebagai pemimpin wanita. Pria adalah pimpinan keluarga, sekaligus menjadi pimpinan
               isteri. Pria harus memiliki sifat mengku (melindungi). Namun, dalam mengayomi itu, ada
               hal yang perlu diingat, yaitu harus dilandasi nalar (pikiran) dan hukum. Artinya, seorang
               pria tidak boleh langsung memiliki semua hak milik wanita (isteri). Jika pria sekaligus
               ingin memiliki harta kekayaan wanita, pria tadi tergolong hina.
                     Kepemimpinan  pria  tersebut  harus  menghargai  hak-hak  yang  dipimpin,  tidak
               mentang-mentang  berkuasa  lalu  ingin  menguasai  segalanya.  Pimpinan  hendaknya
               menerapkan  falsafah  kawicaksanan,  untuk  menjaga  keselarasan  dengan  bawahan.
               Maksudnya, prinsip harmoni dalam hal ini menjadi sasaran utama oleh pimpinan dalam
               keluarga,  agar  tetap  terjaga  keutuhan  dan  tanpa  konflik.  Prinsip  harmoni  dalam
               keluarga  penting,  yakni  bisa  dilakukan  dengan  memperhatikan  harkat  dan  martabat
               anggota keluarga. Masing-masing anggota (pria-wanita) memiliki hak asasi yang harus
               ditegakkan. Hak-hak mereka dilindungi oleh aturan baik secara tertulis maupun tidak.
               Aturan ini yang harus dipatuhi oleh semua pihak terkait.
                     Kedua, orang tua sebagai pemimpin anak-anaknya. Orang tua wajib memberikan
               pesan-pesan  kepada  anak.  Dalam  kaitan  ini,  orang  tua  memiliki  falsafah  sebagai
               sembur-sembur  adas,  siram-siram  bayem.  Maksudnya,  menjadi  penyejuk  anak-
               anaknya karena
                     petuah dan petunjuk yang mereka berikan. Pesan-pesan itu banyak terkait dengan
               masalah-masalah  etika  kehidupan  dan  biasanya  disampaikan  dalam  bentuk  wewaler
               (larangan), agar anak-anaknya hidup selamat. Di antara pesan itu adalah: (a) jangan
               sampai terkecoh, (b) jangan malu, (c) jangan berbuat rusuh, (d) jangan berbuat jahat
               terhadap sesama warga, (e) jangan membuat marah orang tua.
                     Orang  tua  mempunyai  tanggung  jawab  dalam  mardi  siwi  (mendidik  dan
               mendewasakan  anak).  Ajaran  yang  disampaikan  adalah  tentang  kehidupan.  Anak
               hendaknya bisa memegang ilmu tasawuf dan hakikat hidup, yakni: (a) tak perlu susah
               jika diduga orang bodoh, (b) senang hati jika dihina, (c) jangan manja dan gila pujian.
               Dalam konteks dijelaskan bahwa anak terutama pemuda, hendaknya menguasai ilmu
               gaib  yang  sungguh-sungguh,  jangan  sampai  hanya  seperti  'boreh'  (bunga  harum)
               hanya  diluar  daging  saja  pemakaiannya.  Artinya,  jika  ada  bahaya  tidak  berani
               menghadapi.  Itulah  sebabnya  anak  jangan  malu-malu  bertanya  kepada  para  ahli
               tentang ilmu kehidupan. Hakikat kebenaran ilmu itu tidak harus dimiliki orang yang lebih
               tua,  bisa  jadi  juga  dimiliki  anak  muda,  karena  itu  jangan  segan  bertanya.  Indikasi
               tersebut  terkandung  pesan  filosofi  bahwa  orang  tua  mempunyai  kewajiban  untuk
               mendewasakan anak. Kewajiban ini sudah menjadi tugas naluriah dan Ilahiah. Karena
               itu, ia bertugas untuk memberikan bekal etik dan moral kepada anak (yang dipimpin),
   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169