Page 161 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 161

rakyat. Jika konteks ini dapat diaplikasikan dalam hidup sehari-hari tentu rakyat akan
               bahagia.  Hal  ini  mengingat  semakin  merebaknya  gejala  kritis  masyarakat  yang  pada
               gilirannya muncul perilaku-perilaku seperti unjuk rasa, mogok kerja, bawahan menjilat
               atasan, atasan menskors bawahan, budaya kekerasan, dan sejenisnya. Gejala-gejala
               serupa  timbul  boleh  jadi  diakibatkan  karena  figur  kepemimpinan  belum  memenuhi
               aspirasi  bawah,  sebaliknya  sikap  dan  perilaku  bawahan  juga  belum  sesuai  harapan
               atasan.
                     Berbagai  tipe/figur  kepemimpinan  Jawa  memang  telah  dikemukakan  dan
               diserukan  oleh  tokoh-tokoh  penting  kita,  namun  masing-masing  selalu  mengandung
               banyak  kelemahan.  Akibatnya,  sering  laju  tumbuhnya  bangsa  bisa  terhambat  oleh
               ketimpangan,  kegelisahan,  erosi,  dan  kekurangmantapan  kepemimpinan.  Ki  Hadjar
               Dewantoro (1985: 73), telah merumuskan tiga figur kepemimpinan, yaitu (1) ing ngarsa
               sung tuladha, di muka memberi suri tauladan (2) ing madya mangun karsa, ditengah-
               tengah  menumbuhkan  kemampuan,  dan  (3)  tutwuri  Handayani,  dibelakang
               menumbuhkan daya gerak. Kepemimpinan semacam ini juga tidak mudah aplikasinya,
               karena benturan-benturan pun selalu hadir. Jika demikian, slogan kepemimpinan yang
               anggun itu belum bisa menjamin keberhasilan kepemimpinan kita.
                     Pada  bagian  lain,  mantan  Presiden  Soeharto  juga  pernah  mengemukakan
               landasan kepemimpinan, yaitu (1) bersifat  ratu, bijaksana dan adil, (2)  sifat pandhita,
               waspada  dan  pandai  menjangkau  masa  depan  (sense  of  anticipation),  dan  (3)  sifat
               petani,  seadanya,  jujur,  tanpa  mengharapkan  yang  bukan-bukan.  Ketiga  konsep
               tersebut  ternyata  juga  belum  sepenuhnya  dapat  menjawab  tantangan  zaman.  Oleh
               sebab itu tipe dan falsafah kepemimpinan harus selalu dicari dan disesuaikan dengan
               arus perkembangan zaman. Manakala pemimpin bangsa menguasai tiga sifat pimpinan
               itu,  watak  asah  asih  asuh  dapat  diraih.  Asah  asih  asuh  merupakan  landasan
               kepemimpinan yang sjealan dengan nilai-nilai kejawaan.
                     Falsafah kepemimpinan asah asih asuh tersebut telah dirumuskan secara estetis
               oleh  pujangga  besar  KGPAA  Mangkunegara  IV  ke  dalam  karya-karyanya.
               Kepemimpinan  tersebut  sering  didengungkan  pemimpin  kita  pada  setiap  membuka
               acara-acara yang terkait dengan pemerintahan. Seiring dengan tuntutan zaman, yakni
               pola  pikir  masyarakat  semakin  kritis,  tanpa  figur  kepemimpinan  yang  handal,  yakni
               falsasafah kepemimpinan asah asih asuh akan menjadi salah satu alternatif pegangan
               seorang pemimpin.
                      Kepemimpinan  asah  asih  asuh  sering  didengungkan  oleh  para  pemimpin  yang
               lebih  tinggi  kepada  pimpinan  bawahannya.  Ada  yang  mengucapkan  Asih  Asah  Asuh
               dan  Asah  Asih  Asuh.  Dari  sini  jelas  bahwa  kata  asuh,  jarang  diletakkan  di  muka.
               Pembolakbalikan  demikian  tidak  menjadi  masalah,  karena  ketiganya  mengandung
               pengertian  yang  saling  melengkapi.  Dalam  kamus  Bausastra  Jawa  tahun  1939
               diterangkan  bahwa  kata  asih  berarti  cinta  terhadap  orang  lain,  kata  asah  berarti
               menggosok agar tajam, termasuk pikiran, dan kata asuh tidak dijelaskan, karena besar
               kemungkinan  berasal  dari  bahasa  Indonesia  asuh  yang  dalam  bahasa  Jawa  berarti
               ngemong.
                     Sikap dan perilaku kepemimpinan asah asih asuh itu juga menjadi pegangan pada
               jajaran BNI 1946, yang tertulis pada salah satu kewajiban pimpinan bank hendaknya
               bersikap asah (mengingatkan bawahan), asih (menghargai bawahan), dan asuh (mau
               membimbing). Kewajiban pemimpin yang berfigur asah asih asuh itu oleh zainuddin mz
   156   157   158   159   160   161   162   163   164   165   166