Page 158 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 158
mungkin berupa tekanan diplomasi, dan cara-cara lain yang halus (beradab) untuk
menyebabkan diakuinya keunggulan dan kekuasaannya.
Dalam teori, penyerapan itu dianggap sebagai tunduknya kerajaan-kerajaan
yang bertetangga secara sukarela kepada kekuasaan seorang penguasa yang
tertinggi. Karena itu, dalam pelukisan klasik raja-raja besar dulu kala kita jumpai
bahwa raja sewu negara nungkul (sujud), (seribu raja tunduk kepadanya). Patut juga
diperhatikan bahwa dalam sanjungan terhadap seorang penguasa, tidak disebut
keberaniannya dalam menakhlukkan kekuasaan lain.
Ketiga, akibat terakhir yang logis dari hubungan-hubungan antarmandala
adalah timbulnya chakravartin, yang dalam bahasa Jawa ialah: prabu murbeng
wisesa anyakrawati (penguasa dunia). Bentuk ideal kekuasaan duniawi adalah suatu
kerajaan dunia, di mana seluruh satuan politik digabung dalam suatu persatuan
yang padu, sehingga pasang surutnya kekuasa an yang terkandung dalam alam
semesta yang mempunyai banyal: mandala yang saling bententangan satu sama
lain untul: sementara tidak akan ada lagi. Suatu ilustrasi yang menarik dari posisi
sentral yang dipunyai oleh universalisme dalam pemikiran politik Jawa ialah bahwa
kata-kata yang berarti alam semesta (buwana) dan dunia alamiah (alam) terdapat
dalam gelar tiga dari empat raja Jawa sekarang ini: Paku Buwana, Hamengku
Buwana dan Paku Alam.
Akhirnya, barangkali bukan hanya suatu kebetulan bahwa pola khas hubungan-
hubungan politik antara Jawa dan pulaupulau lain cenderung untuk menyerupai
hubungan "lompat katak" yang digambarkan oleh Moertono dalam pembahasannya
tentang mandala. Dalam periode kemerdekaan saja, kita temukan contoh-contoh
menarik dari pola ini dalam hubunganhubungan yang erat antara pusat dan Batak
Karo dalam menghadapi Batak Toba yang dominan di Sumatra Timur: antara pusat
dan kelompok-kelompok Dayak pedalaman dalam menghadapi orang Banjar di
Kalimantan Selatan; dan antara pusat dengan orang Toraja pedalaman dalam
menghadapi orang Bugis dan orang Makassar di Sulawesi Selatan. Walaupun pola
"lompat katak" ini dapat dipahami dengan baik berdasarkan teori politik Barat,
namun pola itu tidak amat konsisten dengan suatu kerangka intelektual lain yang
amat berbeda.