Page 153 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 153

menurunkan  wahyu,  tentu  siapapun  tidak  akan  dapat  menghalangi.  Mungkin  sekali
               yang  dipilih  oleh  wahyu  adalah  orang  kecil,  sederhana,  kurang  berwibawa.  Mungkin
               pula pilihan wahyu adalah orang besar. Hal ini amat tergantung pada sebuah pulung.
                     Falsafah Jawa mengatakan bahwa drajat, pangkat lan semat bisa oncat, artinya
               kedudukan sebagai pimpinan itu tidak langgeng. Pimpinan itu hanya sebuah sampiran
               pakaian ibaratnya. Artinya, suatu saat sampiran itu akan diambil oleh yang punya kain.
               Pimpinan juga sebuah baju (ageman) saja, sehingga sewaktu-waktu harus siap dilucuti
               atau ditanggalkan (dilukar). Hal itu menjadi bahan pertimbangan bagi para pemimpin. Di
               dunia  tidak  ada  yang  langgeng.  Semua  serba  sementara,  bagaikan  kilat  menyambar
               sekejap  tanpa  bekas.  Saat  menjabat  pimpinan  ia  terhormat  dan  dipuja,  namun  jika
               pergantian tiba, ia dapat dihujat dan dihina oleh siapa pun. Dalam ranah kepemimpinan,
               kawan  dan  sahabat  seakan  tak  mengenalnya.  Ia  dilupakan.  Ironis.  Kawan  kadang-
               kadang menjadi lawan, jika telah ada perebutan pucuk pimpinan.
                     Perebutan  kepemimpinan  selalu  membawa  korban.  Terlebih  lagi  jika  masing-
               masing yang berebut tidak berpikir bahwa pimpinan itu wahyu. Raja sebagai pimpinan
               mempunyai  wahyu  keprabon  atau  wahyu  kanarendran.  Presiden,  menteri,  direktur,
               rector, dekan, kepala dinas, ketua jurusan, dan sebagainya tetap ada wahyu. Jika hal
               ini  tidak  disadari,  seringkali  orang  berebut  pimpinan  sampai  ada  darah  mengalir.
               Setidaknya, antar teman yang semula baik, jadilah musuh bebuyutan. Dari sini lahirlah
               dendam kesumat yang sulit dibendung.
                     Saya  mempunyai  pengalaman  menarik,  ketika  ada  pemilihan  Dekan  dan  Wakil
               dekan.  Secara  kebetulan  saya  ikut  di  dalamnya,  ikut  menjadi  mak  jomblang  (kader)
               salah satu calon. Namun karena calon saya itu kalah, dia menjadi anti pati pada calon
               yang jadi. Celakanya, calon yang kalah itu merasa jengkel dan dendam kesumat, selain
               pada  pimpinan  terpilih  juga  pada  saya.  Saya  dianggap  tidak  mampu  menjembatani
               pencalonan dia. Akibatnya, hubungan  sosial budaya menjadi renggang. Bahkan saya
               lihat  sendiri  hubungan  calon  terpilih  dengan  yang  gagal  itu  canggung.  Dia  merasai
               dicederai, diingkari janjinya, sehingga sampai berprinsip: dadia godhong emoh nyuwek,
               dadia banyu emoh nyawuk. Maksudnya, dia tidak lalgi ingin menjadi teman.
                     Itulah  watak  manusia  ketika  kecewa,  tidak  legawa  menganggap  pimpinan  itu
               sebuah pulung atau wahyu. Akibatnya, saling berhantam dan menuding satu sama lain.
               Wahyu  yang  tidak  berpihak  pada  seseorang  itu  sering  dihembuskan  dalam  tindakan
               yang kadang-kadang tidak nalar, ingin membunuh nasib teman, ingin mencederai, dan
               balas  dendam.  Sungguh  gila  orang  itu,  dia  sedang  sakit  jiwa.  Oleh  karena,  dia  yang
               bodoh  tidak  paham  wahyu  kepemimpinan,  malah  berbalik  meneror.  Ini  hanya  terjadi
               pada  orang  yang  tidak  siap  menerima  wahyu  atau  sebaliknya  ditinggalkan  wahyu.
               Wahyu itu hanya dapat diminta, tetapi keberuntungan (pulung) terserah saja.
                     Pada  hal  kita  tahu  tidak  ada  manusia  sempurna.  Ada  sisi  baik  dan  sisi  buruk.
               Setelah  jatuh  kebaikan  tertutup  kekurangan.  Pengalaman  Prapanca  penggubah
               Nagarakertagama  dituangkan  dalam  Nirartaprakerta,  masa  pemerintahan  Hayam
               Wuruk  menjabat  sebagai  bhiksu  pemuka  agama  Bhuda  dan  adyaksa  (jaksa)
               membuktikannya. Setelah purna  tugas ia menyendiri tinggal di Swecchapura, lembah
               Sungai Brantas. Jauh dari kawan seperjuangan dan sepengabdian. Mereka menjauh.
               Kesendirian itu dimanfaatkan untuk menggubah Nirartaprakerta, sebagai kompensasi.
               Kompensasi  itu  positif,  karena  ia  tidak  putus  asa,  tidak  larut  dalam  kesendirian.  Nir
               artha  ’miskin  tak  berharta’  harga  diri  lenyap  bersama  berakhirnya  jabatan  yang
   148   149   150   151   152   153   154   155   156   157   158