Page 149 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 149
dengan Tuhan (manunggal). Kondisi ini menggambarkan hal yang lebih dramatis,
sebab kata kawula dan gusti mengandung arti status yang paling rendah dan status
yang paling tinggi dari manusia dalam masyarakat. Kesatuan hamba dengan tuannya
ini hanya mungkin apabila terdapat beberapa ikatan lal-hal ya ng umum pada manusia
dan Tuhan. Hal-hal itu terletak di dalam sesuatu yang paling substansii antara
manusia dan Tuhan, yang menurut orang Jawa disebut sukma (jiwa) berasal dari
India, dan nur (cahaya) berasal darl bahasa Arab. Karena semua manusia sakti,
emanasi, adalah bagianbagian yang menyatu dengan Tuhan, yang disebut
sanghyang-wenang, atau lebih khusus lagi anaknya, sang hyang tunggal.
Lalu di manakah kekusaan itu terpusat? Sebelumya telah disebutkan, bahwa raja,
merupakan pusat mikro kosmos kerajaan dan clucluk di puncak hirarki status. Dengan
demikian, raja merupakan pusat penghimpunan kekuasaan. Raja dibayangkan
sebagai "pintu air yang menampung seluruh air sungai. Dan bagi tanah yang lebih
rendah, merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan".' Raja digambarkan
sebagai lensa pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkan ke
bawah. Kesaktian sang raja diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang
dipegangnya. Apabila kekuasaannya semakin besar, semakin luas pula wilayah
kekuasaannya dan semakin eksklusif pula kekuatan dalam kerajaannya.
Apabila raja dianggap sebagai pribadi yang memusatkan kekuatan dan
kekuasaan, maka kraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan
itu. Sebab bag] rakyat Jawa kraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik budaya,
melainkan juga sebagai "pusat keramat kerajaan".` Kraton adalah tempat raja
bersemayam. Pandangan kraton sebagai pusat kerajaan, menentukan paham negara
Jawa. Menurut pandangan ini, negara yang paling padat adalah di pusat, di dekat
raja, di kraton. Kraton dikelilingi ibu kota, bagaikan cincin, di mana keluarga-keluarga
kelompok bawahan tinggal. Dari ibukota, kekuatan kraton memancar ke desa-desa.
Makin jauh kraton, makin lemah pancaran kekuatan raja sampai akhirnya sama sekali
mereda.
Pandangan tentang kenegaraan sebagai wilayah penguasaan kekuatan gaib
mempunyai akibat bahwa dalam paham politik Jawa, gagasan pluralitas kekuasaan
tidak pernah muncul. Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi raja. Secara
khusus, ide suatu hukum yang berada di atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam
filsafat politik Jawa. Memang, apabila kekuasaan politik dipahami sebagai aliran ke-
kuatan vang hampir fisik sifatnya, yang berasal dari pribadi raja, tidak ada tempatnya
bagi faham hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan pembatasan
pemakaiannya. Oleh karena itu, raja dan kraton merupakan pusat yang menjadi satu
kekuasaan dalam politik Jawa.
B. Wahyu Keraton dan Kepemimpinan di dalam Keris Jawa
Kepemimpinan Jawa itu identik dengan keris sebagai simbol kekuasaan. Setiap
raja masa lalu, selalu memiliki keris sebagai simbol kewibawaan. Bahkan keris tersebut
juga dikenakan (disengkelit) dalam dirinya. Keris tersebut dianggap sebagai pusaka
sakti. Oleh sebab itu, bagi putera mahkota (pangeran pati) sering diberi keris sebagai
lambing akan meneruskan kepemimpinan ayahnya.
Biasanya keris yang diwariskan bernama Kyai Jaka Piturun, artinya lambang
pewarisan kekuasaan. Orang Jawa sering menandai pewarisan keris sampai tujuh