Page 145 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 145

Dasamuka  (Rahwana)  di  negeri  Ngalengka,  Prabu  Niwatakawaca  di  negeri  Iman-
               Imantaka  dan  beberapa  kesatria  dari  negara  Sabrangan  yang  berujud  (berkarakter)
               raksasa; pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Prinsip utama sang Togog selalu
               mengingatkan kepada bendara bila akan berniat jelek.
                     Ki Togog  secara  garis  besar bertugas mencegah  asuhannya  yang  dur angkara,
               untuk  selalu  eling  dan  waspada,  meninggalkan  segala  sifat  buruk,  dan  semua  nafsu
               negatif. Beberapa tugas mereka antara lain: (1) Mereka bersuara lantang untuk selalu
               memberikan  koreksi,  kritikan  dan  saran  secara  kontinyu  kepada  bendara-nya,  (2)
               Memberikan  pepeling  kepada  bendhara-nya  agar  selalu  eling  dan  waspadha  jangan
               menuruti  kehendak  nafsu  jasadnya  (rahsaning  karep).  Gambaran  tersebut
               sesungguhnya  memproyeksikan  pula  karakter  dalam  diri  manusia  (jagad  alit).
               Sebagaimana  digambarkan  bahwa  kedua  kesatria  di  atas  memiliki  karakter  yang
               berbeda  dan  saling  kontradiktori.  Maknanya,  dalam  jagad  kecil  (jati  diri  manusia)
               terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar
               dari  dalam  cahya  sejati  (nurulah)  merasuk  ke  dalam  sukma  sejati  (ruhulah).
               Di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria
               yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya.
                     Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100.
               walaupun  keduanya  masing-masing  sudah  memiliki  penasehat  punakawan,  namun
               tetap  saja  terjadi  peperangan  di  antara  dua  kelompok  kesatria  tersebut.  Hal  itu
               menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara
               nafsu  negatif  dengan  nafsu  positif.  Sehingga  dalam  cerita  pewayangan  digambarkan
               dengan perang Baratayuda antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan kesatria
               momongan  Ki  Togog.  Antara  Pendawa  melawan  Kurawa  100.  Antara  nafsu  positif
               melawan nafsu  negatif.  Medan  perang  dilakukan  di tengah  Padhang  Kurusetra,  yang
               tidak lain menggambarkan hati manusia.
                     Dalam  cerita  wayang  sebagaimana  kisah-kisah  dalam  legenda  lainnya,  terdapat
               kelompok  antagonis.  Dalam  cerita  wayang  tokoh-tokoh  antagonis  berasal  dari  negri
               seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung
               merupakan  punakawan  kontroversif  yang  selalu  membimbing  tokoh  pembesar
               antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan raksasa
               jahat.
                     Sebut  saja  misalnya  Prabu  Dasamuka,  Prabu  Niwatakawaca,  Prabu  Susarma,
               hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya.
               Pada  intinya  Ki  Lurah  Togog  dkk  selalu  berada  di  pihak  tokoh  antagonis,  sehingga
               disebut  sebagai  bala  kiwa.  Namun  demikian  bukan  berarti  kelompok  punakawan  ini
               memiliki karakter buruk.
                     Ciri  fisik  Togog  dkk  memiliki  mulut  yang  lebar.  Artinya  mereka  selalu  berkoar
               menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada
               dan  eling,  menjadi  manusia  jangan  berlebihan.  Ngono  ya  ngono  ning  aja  ngono.
               Manusia  harus  mengerti  batas-batas  perikemanusiaan.  Sekalipun  akan  mengalahkan
               lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus
               gentle,  tidak  pengecut,  dan  tidak  memenangkan  perkelahian  dengan  jalan  yang  licik.
               Sekalipun  menang  tidak  boleh  menghina  dan  mempermalukan  lawannya  (menang
               tanpa ngasorake).
   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150