Page 142 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 142

berkuasa,  tapi  mereka  sebenarnya  tidak  bertahta  di  dampar  yang  sebenarnya,  yakni
               dampar rakyat ini", jawab Petruk.
                     Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin
               lama  semakin  keras  bahkan  menjadi  senandung  Panitisastra:  dulu  tanah  itu  adalah
               hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat
               habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti
               ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa
               yang  tak  berhutan  dibunuh  manusia,  hutan  yang  tak  bersinga  dibabat  manusia….
               "Raja  dan  rakyat  harus  wengku-winengku  (saling  memangku),  rangkul-merangkul,
               seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung
               tembang Panitisastra.

               D. Anekdot Kepemimpinan pada Lakon Petruk Dadi Ratu
                     Dalam jagat pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan  dalam laut
               bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan.
               Ia  gemar  bersenda  gurau,  baik  dengan  ucapan  maupun  tingkah  laku  dan  senang
               berkelahi.  Ia  tokoh  yang  selalu  hadir  ketika  suasana  buntu,  membeku,  dan  menjadi
               tokoh  ‘satir’   ketika  priyayi  andalannya  ternyata  mengecewakan  publik.   Dengan
               demikian ia hadir sebagai pemimpin atau tokoh keterpaksaan karena tidak ada pilihan
               lain.
                     Kehadiranya selalu dengan gaya humor, ngelantur, omong kosong, ngalor ngidul
               dan  menghibur.  Memecah  kebekuan,  menghalau  kesunyian  dan  menebarkan
               kesahajaan.  Ia  seorang  abdi  yang  selalu  lekat  dengan  kaum  priyayi.  Ia
               merepresentasikan  kaum  kecil,  berpendidikan  rendah,  dan  merakyat.  Ia  pun
               sebenarnya pernah sekolah, tapi nggak lulus, kemudian menempuh ‘kejar paket’, hanya
               untuk label etiket.
                     Selang beberapa tahun kemudian, kariernya meroket.  Ia duduk-duduk dan masuk
               dalam link pemerintahan Pandawa dan bala tengen. Ia sering ikut priyayi besar dalam
               acara-acara  kenegaraan  dan  peperangan.  Ia  pun  akhirnya  berfikir  bagaimana  agar
               dirinya  sejajar  dengan  priyayi  atasannya.  Maka  ia  pun  menempuh   kuliah  ‘instan’  di
               pertapan  ‘Tanpakariya’,  dan   berkat  kesaktiannya,  ia  pun  menyandang  gelar  sarjana.
               Sarjana  hiburan,   untuk  pantas-pantasan,  untuk   menghibur  hatinya  agar   kelihatan
               mentereng di hadapan priyayi juragannya.
                     Yang jelas, walau gelar sarjana sudah menempel. ia sendiri nggak paham dengan
               gelar  kesarjanaannya,  apa  keahliannya,  bagaimana  menerapkannya,  dan  bagaimana
               prosesnya. Yang penting gelar sarjana sudah melekat di pundaknya. Yang penting lagi,
               orang desa semakin bangga dengan dirinya. Di samping ia merakyat, ia juga sarjana.
                Maka  tak  heran,  pada  waktu  pilkades,  ia  pun  terpilih  menjadi  lurah,   yang  didukung
               penuh oleh rakyatnya. Gelar barunya Ki Lurah Petruk Kanthong Bolong.
                     Sekarang  kita  kembali  pada  kisah  di  atas.  Pada  suatu  hari,  Bambang  Pecruk
               Panyukilan   ingin  berkelana  mencari  lawan  tanding,  guna  menguji  kekuatan  dan
               kesaktiannya.  Semua  rapalan  mantra,  ajian  kebal,  senjata  pethel  sakti,  keris  junjung
               luhur, junjung derajat, dan lainnya, telah disiapkan dalam ransel dan lipatan sarungnya.
               Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang
               tengah  refreshing  jogging di atas  bukit,  sambil  bermain  ruyung  di tangannya.  Melihat
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147