Page 140 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 140
satir, artinya sebuah sindiran pada pimpinan. Banyak komidi satir yang memelototkan
mata, misalnya model Sentilan-Sentilun (Metro TV), yang dimotori Butet Kertarajasa.
Komidi satir inimerupakan strategi kritis pada kondisi bangsa. Mungkin sekali lakon dan
komidi ini sebuah pembangkangan rakyat, yang sudah lelah menghadapi pimpinan.
Tegasnya, lakon dan segala bentuk ironi demikian merupakan nasihat moral bagi setiap
pimpinan, jika mau mendengarkan suara rakyat.
C. Parodi Putih Lakon Petruk Dadi Ratu
Waktu Petruk menjadi raja, banyak orang menertawakannya. Menurut banyak
orang, Petruk dadi Ratu itu hanyalah lakon impian, lakon lamunan rakyat bawahan yang
tak dapat memperbaiki keadaan. Mana mungkin rakyat miskin dan bodoh menjadi raja
kaya dan bijaksana? Ada pula yang bilang, lakon itu adalah pasemon (sindiran) tentang
kere munggah mbale (gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan). Lainnya lagi
mengejek, lakon itu hanyalah dagelan untuk menghibur orang miskin. Dan sebagian
lagi berpendapat, Petruk dadi ratu itu kisah aji mumpung (kebetulan), di mana orang
miskin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Di zaman Belanda dulu, Petruk
dadi Ratu juga hanya dipandang sebagai guyonan. Petruk disebut sebagai
Opperbevelhebber, jendral berkuasa, yang memerintah semua belantara. Sebagai
penguasa, Petruk menjungkirbalikkan pranatan. Di negaranya, Lojitengara, menghisab
candu dihalalkan, main judi dinaikkan derajatnya menjadi sport utama, yang
dipopulerkan bagi semua warga negara.
Dari dulu sampai sekarang, entah orang Jawa ataupun Belanda, mereka semua
ternyata tidak mengerti wayang. Mereka memikirkan wayang secara wadag (fisik).
"Pantas, jika mereka menganggap saya, hamba sahaya yang kecil dan miskin ini,
menggunakan kesempatan, berpestaria menjadi raja. Petruk dadi Ratu itu bukan
lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakonnya orang kecil beraji mumpung, tapi lakon
mencoke wahyu marang kawula (hinggapnya wahyu pada diri rakyat)", kata Petruk.
Petruk mengenang, bagaimana ia sampai menjadi raja. Alkisah, tuannya, Abimanyu
menderita sakit. Abimanyu adalah perantara, yang nantinya akan mewariskan dampar
(tahta) Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan
sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang
menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya
sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu.
Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat
menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-
Geduwel Beh!. Untuk kukuh menjadi raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan
Astina, warisan Palasara. Petruk memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya—
titisan Anoman—dan Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri
tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel
Beh mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi
berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui
penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang
bisa dililing (dilihat dan ditimang). Petruk kembali menyuruh kedua utusannya,
Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa
memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu