Page 141 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 141
yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit. Ketika dipangku Prabu Wel-Geduwel
Beh, Abimanyu sembuh. Dan Abimanyu berkata, "Kamu takkan bisa menduduki tahta
itu, jika kamu tidak memangku aku".
"Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya
sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk
sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya.
Tuanku Abimanyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu
takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini",
kata Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya.
Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya
dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk
sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang
kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada
orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku
Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang
memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada
Abimanyu.
Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat
gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong
jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam
Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang
bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha
pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan
hidup raja, bahkan ketiak ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.
"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah
abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun
atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman.
Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai
hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada
tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk.
Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang
dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa
itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah
ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa
itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia
masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi
, kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa
menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja
yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan
kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya?
"Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia
adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya
hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana
berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa