Page 144 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 144

Welgeduwelbeh  yang  PD  terlalu  tinggi.  Berkali-kali  mereka  bertatap  muka  saling
               berpandangan  geli.  Mereka  menatap  jauh.  Pemerintahan  nampak  mulai  rapuh  tidak
               berwibawa  lagi.  Sang  Prabu  Welgeduwelbeh  semakin  mabuk  kekuasaan,  ia  benar-
               benar  nggak  faham  dengan  kepemimpinannya  serta  kondisi  dirinya.  “Inilah
               pemerintahan coba-coba. Yang diaplikasikan dari konsep parsial ‘merakyat’ saja” desah
               Prabu Kresna mengingatkan
               “Werkudara…”
               “Apa Jlitheng kakangku”
               “Lakon  iki  kudu  ndang  dipungkasi,  mesakne  para  kawula  lan  Negara  Ngamarta  ing
               tembe mburi. Mula tugasmu Werkudara, murih lakon iki ndang babar jeneng sira enggal
               papagen Si Bagong mara..”
                     Singkat cerita, akhirnya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari
               tahta  kerajaan  Lojitengara  dan  badar/terbongkar  rahasianya  menjadi  Ki  Lurah  Petruk
               kembali. Petruk yang asli dulu, yang badut dulu, yang kepala desa dulu. Kalimasada
               kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
                     Dengan  demikian  berakhirlah  anekdot  kepemimpinan  di  negeri  wayang,  yang
               penuh  dengan  kepura-puraan.  Intinya,  seorang  pemimpin  tidak  cukup  hanya
               bermodalkan  merakyat  saja.  Akan  tetapi  kecerdasan  intelektual,  spiritual,  dan
               emosional sangat amat diperlukan dalam rangka kebijakan yang sangat strategis dalam
               kerangka kebutuhan zaman yang semakin canggih.

               E. Parodi Hitam Kepemimpinan Jawa
                     Saya  pernah  menulis  sebuah  cerita  pendek  Jawa  berjudul  Togog  Dadi  Ratu
               (2006). Cerita ini saya muat dalam antologi Senthir, yang mendapatkan hahdiah sastra
               Rancage tahun 2006, di UPI Bandung. Yang perlu saya garis bawahi, cerita pendek itu
               saya  ungkapan  sebagai  parodi  kepemimpinan  Jawa.  Pimpinan  Jawa  yang  saya
               simbolisasikan  lewat  tokoh  Togog  sebagai  punakawan  garis  kiri  (hitam),  harus
               disembah  oleh  majikannya.  Pimpinan  Jawa  dari  elit  khusus  itu,  saya  jungkirbalikkan.
               Yakni,  seorang  tokoh  Togog  yang  biasanya  menyembah  Dasamuka,  justru  terbalik
               Dasamuka yang harus menyembah.
                     Dalam  jagad  kepemimpinan  Jawa,  memang  jarang  ada  punakawan  menjadi
               penguasa. Manuver politik dan kepemimpinan Jawa biasanya lebih tersembunyi. Jika
               ada  Togog  dapat  menjadi  raja,  ini  tentu  sebuah  parody  politik  yang  sudah  konyol.
               Biarpun  hal  itu  sangat  mungkin,  namun  di  jagad  Jawa  gerakan  vulgar  untuk
               mencalonkan  rakyat  jelata  ke  kancah  kepemimpinan  belum  jelas  sejarahnya.  Cerpen
               saya di atas adalah fiksi, imajinasi, yang suatu saat dapat terjadi. Gerakan “di bawah
               tanah”  untuk  menjadi  pimpinan  di  Jawa  selalu  ada,  hanya  saja  bersifat  halus.  Maka
               sang Togog pun harus ekstra hati-hati ketika mimpi jadi raja.
                     Kelompok Ki Lurah Togog termasuk punakawan jalur hitam, biarpun pemikirannya
               putih. Kelompok ini terdiri dua personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung.
               Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara yakni
               para  Ratu  Sabrang.  Konteks  dur ini  yang  menyebabkan  sebuah  parodi hitam.  Ketika
               Togog  juga  sah-sah  saja  disembah,  menandai  suat  keadaan  era  masa  kini  bahwa
               pimpinan  dari  jalur  hitam  akan  terbolak-balik.  Pimpinan  yang  dur  angkara,  sudah
               selayaknya  berserah  diri,  agar  menyerahkan  pada  kawula  alit.  Sebut  saja  misalnya
               Prabu  Baladewa  di  negeri  Mandura,  Prabu  Basukarna  di  negeri  Ngawangga,  Prabu
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149